Kamis, 07 Februari 2013

konsep syirkah dalam konsep fiqh muamalah


Konsep Syirkah Dalam Fiqh Mu'amalah

TINJAUAN UMUM  TERHADAP KONSEP SYIRKAH
DALAM FIQH MU’AMALAH

 1. Pengertian dan Dasar Hukum Syirkah

1.1.1. Pengertian Syirkah 
Syirkah secara bahasa adalah masdar dari  شاركyaituشارك – شـــارك – شركا - شركة  yang berarti penyatuan dua dimensi atau lebih menjadi satu kesatuan. Kata ini juga berarti bagian yang bersyarikat. Syirkah identik dengan patnership (bahasa Inggris) atau “ perkongsian ” dalam bahasa Indonesia. Namun demikian istilah tersebut telah menjadi populer di kalangan para musafir dan pedagang Arab jahiliyah; juga masyarakat Melayu sebagai bentuk kerja sama dalam beberapa sektor yang didasari suatu bentuk perjanjian. Jadi secara etimologi, syirkah mengandung arti bercampur, bersekutu, berserikat; misalnya bercampur harta seseorang dengan harta orang lain yang berlainan timbangannya. Perkataan kerja sama (cooporation) dan perkongsian (partnership) banyak didapati dalam kalimat-kalimat Al-Qur’an seperti :
....   
Artinya : . . . . tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu. .  . . . . ” (Q. S An-Nisa’ : 12).
Ayat ini menerangkan bahwa bagian sepertiga (1 / 3) dari harta warisan menjadi syirkah (milik bersama) di antara dua orang atau lebih saudara seibu.
Menurut terminologi, syirkah ialah suatu transaksi yang menghendaki tetapnya hak pada sesuatu menjadi milik dua orang atau lebih. Ada juga yang mendefinisikan sebagai percampuran saham atau modal seseorang dengan orang lain sehingga tidak dapat dibedakan kedua modal tersebut. Dalam harta syirkah tersebut adanya penetapan bagian masing-masing pihak berdasarkan ketentuan yang telah disepakati bersama. Sedangkan Abdurrahman I. Doi, seorang ulama kontemporer menjelaskan bahwa syirkah (partnership) adalah hubungan kerja sama antara dua orang atau lebih dalam bentuk bisnis (perniagaan) dan masing-masing pihak akan memperoleh pembagian keuntungan berdasarkan penanaman modal dan kerja masing-masing peserta.
Syirkah tidak hanya berlangsung dalam satu bentuk dan jenis pekerjaan semata. Jika diperhatikan perkembangan dunia usaha ini, modal  bukanlah suatu aspek yang berdiri sendiri, tetapi harus dibantu beberapa aspek penunjang lainnya agar mendatangkan hasil yang maksimal, seperti keahlian dan mekanisme kerja yang rapi. Pengembangan usaha melalui syirkah merupakan bentuk kemitraan perekonomian global dewasa ini. Objektifnya adalah saling mengisi dan menutupi kelemahan yang ada untuk meraih keuntungan dan menekan resiko kerugian yang serendah-rendahnya secara bersama.
Berdasarkan definisi yang telah disebutkan di atas, ulama fiqh membatasi pengertian syirkah kepada syirkah al-milki dan syirkah al-‘uqud. Syirkah al-Milki adalah suatu pernyataan tentang pemilikan dua orang atau lebih terhadap satu barang tanpa ada perjanjian perserikatan atau persekutuan memiliki. Sedangkan syirkah al-‘uqud adalah suatu pernyataan tentang perjanjian yang terselenggara antara dua orang atau lebih untuk bersama-sama dalam satu harta dan keuntungannya.
Selanjutnya dalam penulisan skripsi ini, penulis memfokuskan kepada syirkah al-‘uqud yaitu suatu bentuk syirkah yang terjadi karena adanya transaksi antara dua orang atau lebih karena didasari pada perkongsian modal dan keuntungan di mana seseorang mengatakan kepada partnernya “ saya berkongsi dengan kamu dalam masalah . . . . . .  dan anggota yang lain mengatakan : saya atau kami menerima kamu sebagai partner kerja .
1.1.2. Dasar Hukum Syirkah
Akad asy-syirkah dibolehkan menurut para ulama fiqh. Islam juga  menggalakkan kerja sama dalam berbagai bentuk usaha kebajikan dan sebaliknya menolak usaha-usaha yang bisa mendatangkan kemudharatan untuk diri sendiri dan orang banyak. Oleh karenanya operasional syirkah (partnership) dalam dunia perdagangan dibolehkan oleh syari’at Islam. Hal ini di dasarkan pada dalil-dalil al-Qur’an, sunnah dan ijma’ ulama.
a.       Dalil dari ayat Al-Qur’an
Firman Allah SWT. dalam surat Al-Maidah ayat 2:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Artinya : “...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. ...”(Al-Maidah: 2).
            Ayat tersebut menjelaskan bahwa semua perbuatan dan sikap hidup membawa kebaikan kepada seseorang (individu) atau kelompok masyarakat digolongkan kepada perbuatan baik dan taqwa dengan syarat perbuatan tersebut didasari dengan niat yang ikhlas. Tolong menolong (syirkah al-ta’awun) merupakan satu bentuk perkongsian, dan harapan bahwa semua pribadi muslim adalah sosok yang bisa berguna / menjadi partner bersama-sama dengan muslim lainnya.
            Firman Allah SWT. dalam surat al-Anfal ayat 41 yaitu:
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya:  “ Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnusabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal : 41).
            Kata ghanimah dalam ayat tersebut adalah rampasan perang yang diperoleh kaum muslimin bersama-sama dan dijadikan harta syirkah dengan pembagian yang adil menurut ketentuan syari’at Islam dengan memperhatikan jenis dan usaha yang dikembangkan. 
b.      Dalil dari Sunnah
Pelaksanaan dalam Islam juga di dasari kepada hadist Qudsi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah S. A. W telah bersabda:
عن أبى هريرة  قال رسول الله صلى الله عليه وسلم قال الله : نا أثالث الشريكين  ما لم  يخن أحدهما صاحبه (رواه  أبوا داو)9[9]
Artinya : “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: Allah SWT berfirman: Aku adalah kongsi ketiga dari dua orang  yang berkongsi selama salah seorang kongsi tidak mengkhianati kongsinya apabila ia mengkhianatinya, maka Aku keluar dari perkongsian itu. ( HR. Abu Daud )                       
Sayid Sabiq menjelaskan kembali bahwa Allah SWT akan memberi berkah ke atas harta perkumpulan dan memelihara keduanya (mitra kerja) selama mereka menjaga hubungan baik dan tidak saling mengkhianati. Apabila salah seorang berlaku curang niscaya Allah SWT akan mencabut berkah dari hartanya.
Dalam hadits lain Rasulullah  SAW juga bersabda:
عن السا ئب المخزومي رضي الله عنه انه كان شريك النبي صلى الله عليه وسلم قبل البعثة، فجاء يوم الفتح فقال: مرحبا يا اخى وشر يكى . (رواه احمد وا أبوداود و ابن ماجة) [11]
Artinya: Dari Saib al-Makhzumi r.a bahwasanya dia menjadi mitra Nabi SAW sebelum beliau menjadi Rasul, lalu mendatanginya pada hari pembebasannya kota Makkah, beliau berkata, selamat datang hai saudaraku dan mitraku (kongsi). (H. R Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah).
Berdasarkan hadist tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perkongsian menurut hukum Islam bukan hanya sekedar boleh, melainkan lebih dari itu, disukai selama dalam perkongsian itu tidak ada tipu menipu.
c.       Dalil-dalil Ijma’
Ulama sepakat bahwa syirkah boleh hukumnya menurut syari’at, sekalipun mereka berbeda pendapat tentang jenis-jenis syirkah dan keabsahan masing-masing. Syirkah-pun saling berbeda menurut masing-masing persepsi mereka. Ada yang kita lihat sejak masa Rasulullah SAW, orang-orang mukmin selalu berserikat dalam perniagaan.

1.2. Rukun, Syarat, Dan Macam-macam Bentuk Syirkah
2.2.1. Rukun Syirkah
Dalam melaksanakan suatu perikatan Islam harus memenuhi rukun dan syarat yang sesuai dengan hukum Islam. Rukun adalah “suatu unsur  yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu.”
Adapun rukun dari akad musyarakah yang harus dipenuhi dalam transaksi yaitu:
1.      Pelaku akad, yaitu para mitra usaha yang melakukan akad sebagai suatu perbuatan hukum yang mengemban hak dan kewajiban. Bentuk pelaku akad tersebut adalah manusia dan badan hukum.
2.      Objek akad, yaitu benda-benda atau jasa-jasa yang dihalalkan oleh syari’ah untuk ditransaksikan, harus diketahui dengan jelas oleh para pihak, seperti fungsi, bentuk, dan keadaannya. Objek aqad musyarakah ini terdiri dari modal, kerja, keuntungan dan kerugian. Masing-masing objek aqad tersebut memilki peranan yang besar terhadap ekspansi usaha dalam aqad musyarakah ini. 
3.      Shighah, yaitu ijab dan qabul. Pelaksanaan ijab dan qabul yang dilakukan oleh para pihak dapat dilakukan dengan berbagai cara yang dibenarkan. Cara-cara ijab qabul tersebut berupa lisan, tulisan, isyarat, maupun dengan perbuatan.
Para fuqaha berbeda pendapat dalam mendefinisikan rukun pada sesuatu bentuk tasarruf. Menurut jumhur ulama yang dimaksud dengan rukun adalah sesuatu yang ditetapkan ke atasnya, jika salah satu dari rukun tersebut tidak ada, maka ‘aqad syirkah tersebut tidak wujud atau digolongkan ke dalam ‘aqad fasid.
            Menurut Ulama Hanafiyah, mereka mendefinisikan rukun sebagai sesuatu yang ditetapkan atas sesuatu demi wujudnya sesuatu secara legal, maka sighah (ijab qabul) di sini merupakan unsur pokok (rukun tunggal) dalam ‘aqad syirkah. Sedangkan selain sighah seperti al ‘aqid adalah para pihak yang bersyirkah, ma’qud ‘alaih merupakan objek yang diaqadkan dan ‘amal / usaha tidak digolongkan ke dalam rukun syirkah, melainkan hanya sebagai syarat-syarat demi wujudnya sighah.
            Perbedaan pendapat antara jumhur dan Hanafiyah mengenai ‘aqad (rukun) syirkah adalah perbedaan dalam teori, sedangkan dalam pelaksanaannya, kerangka-kerangka dasar dari rukun yang dikemukakan oleh kedua golongan tersebut adalah sama. Dalam aplikasinya, kedua rumusan di atas tidak memperlihatkan perbedaan dan bahkan proses pelaksanaan rukun-rukun tersebut saling merangkumi.

1.2.2. Syarat-syarat Syirkah
Syarat adalah “sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada diluar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada.”
Adapun syarat-syarat akad musyarakah yaitu:
1.      Ucapan, tidak ada bentuk khusus dari kontrak musyarakah. Ia dapat berbentuk pengucapan yang menunjukkan tujuan. Berakad dianggap sah jika diucapakan secara verbal atau ditulis. Kontrak musyarakah dicatat dan disaksikan.
2.      Pihak yang berkontrak, disyaratkan bahwa mitra harus kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
3.      Objek Kontrak, yaitu dana dan kerja. Di mana modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak, atau yang bernilai sama. Para ulama menyepakati hal ini. Beberapa ulama memberi kemungkinan pula bila modal berwujud aset perdagangan, seperti barang-barang, perlengkapan, dan sebagainya. Bahkan dalam bentuk hak yang tidak terlihat, seperti lisensi, hak paten, dan sebagainya. Bila itu dilakukan, menurut kalangan ulama ini, seluruh modal tersebut harus dinilai lebih dahulu secara tunai dan disepakati para mitranya. Kemudian, partisipasi para mitra dalam pekerjaan musyarakah adalah ketentuan dasar. Tidak dibenarkan bila salah seorang di antara mereka menyatakan tak akan ikut serta menangani pekerjaan dalam kerja sama itu. Namun, tidak ada keharusan mereka untuk menanggung beban kerja secara sama. Salah satu pihak boleh menangani pekerjaan lebih banyak dari yang lain, dan berhak menuntut pembagian keuntungan lebih bagi dirinya.
            Pada dasarnya, syarat secara garis besar telah menentukan bagi tiap-tiap aqad transaksi batasan tertentu untuk merealisir hajad masing-masing pihak sehingga tidak perlu menambah syarat tertentu di luar syarat syar’i, namun kadang-kadang batasan yang ada tidak terpenuhi apa yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang beraqad sehingga membutuhkan syarat tambahan.
            Para ulama membagi syarat kepada dua :
1). Syarat Syar’i
Syarat syar’i adalah syarat itu sebagai sebab, misalnya nikah merupakan syarat wajib rajam bagi pelaku zina. Dan adakalanya syarat itu untuk sah hukum misalnya kesaksian dalam aqad nikah, itu merupakan syarat untuk hukum agar pernikahan sah
2). Syarat Ja’li
Syarat ini merupakan suatu syarat yang timbul dari perbuatan dan kehendak manusia yang menjadi suatu keharusan pada suatu aqad (transaksi) yang berhubungan dengan  syarat tersebut. Apabila syarat tidak dilengkapi, maka aqad pun tidak sah. Atau dengan ungkapan lain meletakkan suatu perkara yang tidak terdapat pada perkara yang ada dengan menggunakan ungkapan tertentu: “ dengan syarat begini atau hendaklah keadaannya begini. ”
Berikut ini akan  dikemukakan pendapat golongan Hanabilah dan Hanafiyah tentang syarat-syarat yang menyertai ‘aqad (golongan Syafi’iyah mendekati pendapat Hanafiyah, sedangkan golongan Malikiyah mendekati pendapat Hanafiyah).
a.       Golongan Hanabilah, khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al-Qayyim, sangat longgar dalam menggunakan kebebasan menentukan syarat-syarat ‘aqad. Pada dasarnya segala syarat yang tidak dilarang syara’ adalah sah dan harus ditempati atau dipelihara. Jadi tolak ukur keabsahan syarat adalah jika tidak bertentangan dengan kitabullah, sunnah Rasul serta kaidah-kaidah syara’. Dengan kata lain penetapan syarat-syarat itu pada dasarnya boleh dan sah sepanjang membawa manfaat bagi pihak-pihak yang beraqad.
b.      Hanafiyah (dan Syafi’iyah) membagi syarat yang berbaringan dengan ‘aqad menjadi tiga macam.
1). Syarat shahih, yaitu sesuai dengan tujuan ‘aqad atau menguatkan tujuan ‘aqad atau telah ada ketentuan syara’.
2). Syarat fasid, yaitu syarat yang mengandung manfaat bagi salah satu pihak yang mengadakan seperti membeli gandum dengan syarat penjualnya harus menumbuknya terlebih dahulu.
3). Syarat bathil, yaitu syarat yang tidak termasuk kategori syarat shahih dan tidak pula termasuk syarat fasid, melainkan syarat yang mendatangkan kemadharatan bagi salah satu pihak yang ber’aqad seperti persyaratan penjual rumah agar rumah itu dikosongkan sebulan tiap-tiap tahun.
1.2.3. Macam-macam Bentuk Syirkah
Bentuk syirkah dibagi dalam dua bentuk : syirkah pemilikan dan syirkah aqad (kontrak). Syirkah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam syirkah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
            Syirkah aqad tercipta dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal syirkah. Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.
            Syirkah aqad terbagi menjadi : al-‘inan, al-mufawwadhah, al-‘amaal, al-wujuh dan al-mudharabah. Para ulama berbeda pendapat tentang al-mudharabah, apakah ia termasuk jenis al-musyarakah atau bukan. Beberapa ulama menganggap al-mudharabah termasuk kategori al-musyarakah karena memenuhi rukun dan syarat sebuah aqad (kontrak) musyarakah. Adapun ulama lain menganggap al-mudharabah tidak termasuk sebagai al-musyarakah.
Berikut ini penjelasan daripada syirkah aqad menurut ulama Hanabilah yang terdiri dari lima bentuk sesuai dengan yang telah disebutkan di atas :


a.       Syirkah al-‘inan
Syirkah al-‘inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati di antara mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka. Mayoritas ulama membolehkan jenis al-musyarakah ini.  
Lebih lanjut Syafi’i menjelaskan bahwa syirkah al-inan merupakan perkongsian dagang yang dilakukan oleh persero yang menyerahkan hartanya masing-masing sebagai kapital (modal) dan masing-masing anggota berkelayakan untuk mengurus dan mengembangkan modal tersebut. Keuntungan dan resiko yang akan berlaku ditanggung bersama.
b.      Syirkah mufawwadhah
Syirkah mufawadhah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih. Di mana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis al-musyarakah ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggungjawab, dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak
Pada syirkah mufawwadhah  (perkongsian tak terbatas) ada beberapa pendapat ulama di antaranya ada yang menyatakan boleh dan ada pula yang melarang hal demikian. Golongan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa syirkah ini tidak boleh dipraktekkan, sedangkan Hanafiyah, Malikiyah dan Abu Tsur membolehkannya. Perbedaan persepsi imam mazhab mengenai kebolehan syirkah ini adalah karena ketentuan jumlah modal dan percampuran modal dari masing-masing pihak yang ber’aqad. Golongan pertama (membolehkan syirkah mufawwadhah) memberi argumentasi bahwa dalam syirkah tidak harus adanya penetapan jumlah modal, karena hal demikian merupakan pemaksaan terhadap para anggota syirkah, sedangkan hal yang demikian tergolong bathil.
c.       Syirkah al-‘amaal
Syirkah ini adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerja sama dua orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor. Syirkah ini kadang-kadang di sebut musyarakah abdan atau sanaa’i. Perkongsian jenis ini dibolehkan oleh ulama Malikiyah, Hanabilah, dan Zaidiyah. Dengan alasan, antara lain bahwa tujuan dari perkongsian ini adalah mendapatkan keuntungan. Selain itu, perkongsian tidak hanya dapat terjadi pada harta, tetapi dapat juga pada pekerjaan, seperti dalam mudharabah.
Namun demikian, ulama Malikiyah menganjurkan syarat untuk kesahihan syirkah ini, yaitu harus ada kesatuan usaha. Mereka melarangnya kalau jenis barang yang dikerjakan keduanya berbeda, kecuali masih ada kaitannya satu sama lain, seperti usaha penenunan dan pemintalan. Selain itu, keduanya harus berada di tempat yang sama. Jika berbeda tempat, syirkah ini tidak sah.
Secara global, jumhur fuqaha dari mazhab Hanafi, Hanbali dan Maliki berpendapat bolehnya syarikat A’mal, dengan dasar dalil hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunnahnya dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : “ saya bersyarikat dengan ‘ Ammar dan Sa’ad pada perang badar. Lalu, Sa’ad mendapatkan dua orang tawanan sedangkan saya dan ‘ Ammar tidak mendapatkan sama sekali dan nabi saw tidak menegur ( menanggah ) terhadap kami. ”
Maksudnya adalah bahwa persyarikatan seperti ini tidak tersembunyi dari nabi saw. dan beliau telah mengetahuinya dengan tidak mengingkarinya, maka sikap beliau tersebut dikategorikan sebagai bentuk taqrir (persetujuan), sebagaimana hadist ini menunjukkan adanya persyarikatan para penemu ghanimah (rampasan perang) pada diri tawanan, sedangkan mereka tidak berhak atas harta tersebut kecuali hanya dengan usaha tanpa yang lainnya.
d.      Syirkah al-Wujuh
Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra.
Syirkah jenis ini mengikat dua orang pelaku atau lebih yang tidak memilki modal uang. Namun mereka memiliki nama baik di tengah masyarakat sehingga membuka kesempatan buat mereka untuk bisa membeli secara berhutang. Mereka bersepakat untuk membeli barang secara berhutang dengan tujuan untuk dijual, lalu keuntungannya jual beli itu mereka bagi bersama.
Para ulama berbeda pendapat tentang disyari’atkannya atau tidaknya kerja sama ini. Kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah membolehkannya secara mutlak. Kalangan Syafi’iyah dan Malikiyah melarang sebagian bentuk aplikatifnya, namun membolehkan sebagian bentuk lainnya.
Mereka membolehkan kalau kedua pihak tersebut bersepakat membeli satu komoditi yang sama. Mereka melarang apabila masing-masing berhak terhadap apa yang dibeli oleh mitra bisnis kerja sama mereka dengan nama baiknya sendiri secara mutlak.
Alasan mereka yang membolehkannya secara mutlak adalah sebagai berikut: karena syirkah itu mengandung unsur membeli dengan pembayaran tertunda, serta untuk memberikan penjaminan kepada pihak lain untuk berjual beli, dan keduanya dibolehkan. Karena umumnya manusia telah terbiasa melakukan perjanjian kerja sama tersebut di berbagai tempat tanpa pernah dibantah oleh ulama manapun.
e.       Syirkah al-Mudharabah
Syirkah al-mudharabah merupakan akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh  (100 %) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

1.3. Kerangka Kerja Pengimplementasian Syirkah
Pengimplementasian konsep syirkah telah membolehkan semua bentuk bisnis untuk dilaksanakan oleh satu orang individu, maka bisnis tersebut juga boleh (sah) jika dilakukan secara bersama-sama atau dengan mengambil bagian di dalamnya. Bagian atau hasil dalam perkongsian akan diketahui setelah masa ‘aqad atau setelah berakhirnya sesuatu aktivitas usaha. Hasil tersebut tidak selamanya membawa keuntungan, bahkan sering juga terjadi kerugian.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa keuntungan yang akan diperoleh dalam suatu perkongsian harus ditetapkan berdasarkan kelayakan masing-masing mitra usaha dengan kadar persentase yang disepakati bersama ketika ‘aqad berlansung. Prinsip ini diterima  oleh semua mazhab terutama dalam ‘aqad mudharabah, sedangkan dalam ‘aqad syirkah terjadi perbedaan pendapat. Hanafiyah dan Hanabilah setuju dengan konteks tersebut. Sedangkan Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa pembagian keuntungan dalam ‘aqad syirkah ditetapkan oleh pihak yang berkongsi tanpa mengira perbedaan dalam usaha perniagaan.
Pandangan Imam Syafi’iy mempunyai alasan bahwa keuntungan dan kerugian akan ditetapkan menurut kadar modal, karena keuntungan itu sendiri bermakna pertumbuhan modal sedangkan kerugian bermakna pengurangan modal. Kedua-duanya akan terjadinya berdasarkan besarnya modal yang disumbangkan. Jika modal setiap anggota sama besarnya, tetapi pembagian keuntungan dan kerugian berbeda, maka syirkah tersebut tidak sah.[29]
Alasan lain juga mengatakan bahwa ‘aqad syirkah terkait erat dengan modal peserta dan bukan usaha perniagaan, sedangkan peningkatan keuntungan yang diperoleh melalui usaha tidak terlepas dari pengawalan modal.
Adapun pengimplementasian aqad syirkah yang terdapat pada Koperasi wanita Bungong Jaroe yang  penulis maksudkan di sini adalah lebih terarah kepada syirkah ‘inan. Sebagaimana dapat kita lihat pada Koperasi wanita Bungong Jaroe para pihak yang berserikat  mencampurkan modal dalam jumlah yang tidak sama, misalnya Rp X dicampur dengan Rp Y, maka jumlah keuntungan yang diterima berdasarkan kesepakatan nisbah. Sedangkan bila rugi, maka masing-masing pihak akan menanggung kerugian sebesar proporsi modal yang ditanamkan dalam syirkah tersebut.  Kemudian, dalam syirkah al-‘inan juga sah bagi setiap anggota syirkah membuat tuntutan terhadap keuntungan berdasarkan jumlah modal masing-masing mereka, dan mereka juga boleh menetapkan pembagian keuntungan sama rata sekalipun modal mereka berbeda, demikian pendapat Imam Hanafi. Beliau lebih cenderung menetapkan keuntungan berdasarkan usaha perniagaan dan apabila mitra kerja sama-sama aktif bukanlah hal yang mustahil untuk menetapkan keuntungan yang sama.
Adapun karakter-karakter  dari syirkah ‘inan ini sebagai berikut:
a.              Besar modal anggota tidak harus sama.
b.              Setiap anggota mempunyai hak untuk aktif dalam pengelolaan usaha dan juga dapat menggugurkan haknya
c.              Pembagian keuntungan dapat didasarkan atas persentase modal masing-masing tetapi dapat juga atas dasar negosiasi. Hal ini diperkenankan karena adanya kemungkinan tambahan kerja atau penanggung resiko dari salah satu pihak
d.              Kerugian dan keuntungan sesuai dengan porsi modal. Jadi syirkah ‘inan merupakan bentuk perkongsian yang paling banyak diterapkan dalam dunia bisnis, hal ini karena sifatnya fleksibel.
Berdasarkan karakter-karakter tersebut, sebenarnya seperti apa modal, kerja, keuntungan maupun kerugian dalam penerapan syirkah ‘inan. Sebagaimana penulis ketahui, pada syirkah ‘inan ini jumlah porsi modal yang dicampurkan oleh masing-masing pihak berbeda jumlahnya, maka jumlah keuntungan yang diterima berdasarkan kesepakatan nisbah. Sedangkan bila rugi, maka masing-masing pihak akan menanggung kerugian sebesar proporsi modal yang ditanamkan dalam syirkah tersebut.
Musyarakah dengan pemberian modal dalam syirkah ‘inan ini menciptakan sebuah kesatuan dana. Lalu, setiap mitra memberi wewenang mitra lainnya untuk mengatur aset. Seorang mitra dinilai berhak atas wewenang itu bila ia menggunakannya secara baik dengan memelihara kepentingan mitra lainnya, tanpa membuat kesalahan yang disengaja atau lalai. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana itu untuk kepentingannya sendiri. 
Terdapat banyak kasus dalam pengalaman praktis yang memperlihatkan bahwa dalam perjanjian perkongsian sebahagian mitra bekerja keras sedangkan sebahagian yang lain tidak begitu aktif. Tingkat produktifitas juga tidak selamanya dapat ditaksir berdasarkan waktu yang digunakan atau kuantitas keterlibatan peserta terhadap objek yang dikerjakan.
Ibnu Qudamah al-Maqdisi memberi komentar bahwa resiko (kerugian) yang akan terjadi tidak akan menjadi beban pihak yang menjalankan usaha dan akan ditanggung sendiri oleh pemodal. Konteks ini memberi ketegangan bahwa pihak yang tidak memiliki modal tidak berhak berkongsi kerugian, kecuali jika sama-sama mempunyai modal.
Namun, berdasarkan beberapa pendapat tadi dapat dipahami bahwa visi dan pengalaman mungkin lebih bernilai dibandingkan dengan kerja memeras tenaga. Prinsip keadilan dan keseksamaan sangat diperlukan untuk memperoleh pembagian untung resiko secara adil.
Apabila dalam suatu bentuk perdagangan yang menggabungkan modal dan usaha, diketahui tidak menghasilkan keuntungan ataupun tidak mengalami kerugian, maka perusahaan tidak mendapat ganjaran dan pemilik modal juga tidak boleh menggugat pemulangan modalnya. Prinsip ini tidak berlaku pada pelaksanaan bank, di mana pihak bank tetap menuntut pemulangan modal beserta bunganya tanpa mempertimbangkan resiko yang diderita oleh nasabah.
Mengenai kerangka kerja hukum tentang berhentinya musyarakah pada prinsipnya akan berhenti jika salah satu mitra menghentikan kontrak, atau meninggal, kompetensi hukumnya berhenti, atau modal musyarakah hilang /rugi. Musyarakah juga harus dimulai dengan perwakilan hubungan di antara para mitra. Hubungan ini memberi dasar keberlangsungan kerja sama. Bila hubungan perwakilan itu dirusak, misalnya dengan memberhentikan salah satu mitra, maka dasar hukum bagi mereka bertindak sesuai modal masing-masing akan hilang. Ketika salah satu mitra meninggal, salah satu ahli warisnya yang baligh dan berakal sehat dapat menggantikan posisi mitra yang meninggal tersebut. Namun hal ini memerlukan persetujuan ahli waris lain dan mitra musyarakah-nya. Hal demikian juga berlaku jika salah satu mitra kehilangan kompetensi hukumnya.

1.4. Keuntungan-keuntungan Penerapan Konsep Syirkah Dalam Pemberdayaan   Ekonomi
Pemberdayaan ekonomi masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dalam konsep pemberdayaan ekonomi manusia adalah subyek dari diri sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan.
Pemberdayaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemberdayaan ekonomi terhadap anggota syirkah, sebagai bagian dari masyarakat yang membutuhkan penanganan untuk mendorong peningkatan pendapatan atau profit usaha. Sehingga mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik.
  1. Adapun keuntungan-keuntungan dari penerapan konsep syirkah terhadap pemberdayaan ekonomi adalah sebagai berikut:
1.                 Perkongsian modal yang mulanya milik masing-masing individu dalam jumlah kecil menjadi bertambah besar jumlahnya karena prinsip bagi
2.                 Adanya unit simpan pinjam melalui pengelolaan syirkah, sehingga para anggota lebih mudah dalam mengakses modal usaha
3.                 Pada aqad syirkah lebih adil kerena pembagian keuntungan berdasarkan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung berdasarkan  jumlah modal masing-masing, jadi tidak ada pihak yang dirugikan
4.                 Dapat menikmati peningkatan bagi hasil, pada saat keuntungan usaha anggota meningkat.
Kemudian, dalam menjalankan suatu usaha untuk memberdayakan ekonomi anggota bukan saja keuntungan yang harus kita perhatikan. Tetapi, resiko adalah hal yang paling utama yang harus kita perhatikan demi lancarnya usaha yang akan kita lakukan. Adapun resiko-resiko yang harus kita atasi seperti anggota syirkah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak, Kemudian lalai dan kesalahan yang disengaja, juga penyembunyian keuntungan oleh anggota syirkah bila anggotanya tidak jujur dan lainnya.
Namun, aplikasi yang dijalankan dalam perbankan untuk memberdayakan nasabah, musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek di mana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank. Sedangkan resiko yang harus diantisipasi antara lain  kemungkinan kelalaian atau penghianatan nasabah.
Secara umum, bisa kita lihat aplikasi perbankan dari aqad musyarakah  yang bisa memberikan berbagai keuntungan di antara kedua belah pihak yang berakad yaitu pihak nasabah dengan Bank Syari’ah. Adapun skemanya dapat digambarkan sebagai berikut:
Sumber: Muhammad Syafi’i Antonio

hukum riba dan bunga bank



HUKUM RIBA DAN BUNGA BANK
A. Hukum Riba
Hukum Islam meliputi semua aspek kehidupan kaum muslim, seperangkat kewajiban dan praktik ibadah, shalat, tata krama dan moral, perkawinan, pewarisan, pidana, dan transaksi komersial. Dengan kata lain, hukum Islam meliputi banyak aspek yang dalam tradisi lain tak akan dianggap sebagai hukum. Oleh karena itulah, sebagai hukum yang suci, hukum Islam mengandung inti keimanan Islam itu sendiri. Ibnul Qoyyim -rahimahullah- berkata: “Islam adalah mentauhidkan Allah, beribadah kepada Nya saja, dan tidak ada sekutu bagi Nya, iman kepada Allah dan Rasul Nya, dan mengikuti apa yang beliau bawa. Jika seorang hamba tidak melaksanakan hal ini, maka ia bukan Muslim. Bila ia bukan kafir mu’anid (kafir pembangkang) maka dia kafir jahil (kafir karena bodoh). Status minimal thabaqah (tingkatan) ini adalah mereka itu orang-orang kafir jahil yang tidak mu’anid, dan ketidak ‘inad (pembangkangan) mereka tidak mengeluarkan mereka dari status sebagai orang-orang kafir.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Allah telah menghalalkan perniagaan (jual-beli) dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang senantiasa berbuat kekafiran/ingkar, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”(Q.S. Al-Baqarah: 275-279).
Prof.Dr.Yusuf Al-Qaradhawi dalam pengertian riba mengatakan bahwa sesungguhnya pegangan ahli-ahli fiqh dalam membuat batasan pengertian riba dalah nash (teks) Al-Qur’an itu sendiri. Ayat di atas menunjukkan bahwa sesuatu yang lebih dari modal dasar adalah riba, sedikit atau banyak. Jadi, setiap kelebihan dari modal asli yang ditentukan sebelumnya karena semata-mata imbalan bagi berlalunya waktu adalah riba. Batasan riba yang diharamkan oleh Al-Qur’an itu sebenarnya tidak memerlukan penjelasan yang rumit. Karena tidak mungkin Allah mengharamkan sesuatu bagi manusia, apalagi mengancam pelakunya dengan siksa yang paling pedih, sementara bagi mereka sendiri tidak jelas apa yang dilarang itu. Padahal Allah telah berfirman,
“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah: 275).
Prinsip perbankan Islam adalah menjauhkan riba dan menerapkan sistem bagi hasil dan jual beli. Ditinjau dari bahasa Arab, riba bermakna: tambahan, tumbuh, dan menjadi tinggi. Menurut ensiklopedi Islam Indonesia, Ar-Riba makna asalnya ialah tambah, tumbuh, dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak, seperti yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an. Sedangkan dalam bahasa Inggris, riba sering diterjemahkan sebagai “usury” yang artinya dalam The American Heritage Dictonary of the English Language, adalah:
a.       the act of lending money at an exorbitant or illegal rate of interest;
b.      such of an excessive rate of interest;
c.       archaic (tidak dipakai lagi, kuno, kolot, lama). The act or practice of lending money at any rate of interest;
d.      aw, obsolete (usang, tidak dipakai, kuno). Interest charged or paid on such a loan.
Dr. Perry Warijo berpendapat bahwa interest dan usury pada hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam persentase. Istilah usury muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada zaman itu sehingga penguasa harus menertapkan suatu tingkat bunga yang dianggap “wajar”. Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.
Diantara dalil dari hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang menunjukkan akan haramnya riba ialah hadits berikut:
Dari Shahabat Jabir Radhiyallahu Ta’ala Anhu’ ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah melaknati pemakan riba, orang yang memberikan/membayar riba, penulisnya, dan juga dua orang saksinya.” Dan beliau juga bersabda, “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (H.R. Muslim).
“Satu dirham dari hasil riba yang dimakan oleh seseorang dan ia mengetahuinya niscaya dosanya lebih berat daripada dosa 36 (tiga puluh enam) kali berbuat zina.” (H.R. Ahmad, dan sanadnya digolongkan shahih).
“Riba itu mempunyai 73 pintu (dosa), di mana pintunya yang paling ringan setara dengan (dosa) seseorang yang menikahi ibu kandungnya dan pintunya yang paling berat setara dengan (dosa) menodai kehormatan seorang Muslim.” (H.R. al-Hakim dan ia menshahihkannya).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga telah memerintahkan untuk mengambil yang halal dan jelas, serta meninggalkan yang syubhat, apalagi yang jelas keharamannya.
Dari Nu’man bin Basyir, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Antara keduanya ada perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barangsiapa yang menjaga diri dari perkara-perkara yang syubhat tersebut maka berarti ia telah menjaga dien dan kehormatannya, dan barangsiapa yang terjerumus dalam perkara yang syubhat berarti dia terjerumus kepada yang haram. Seperti seorang penggembala yang menggembala di sekitar daerah larangan, lambat laun akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya setiap raja itu memiliki daerah larangan, sedangkan daerah larangan Allah itu adalah apa-apa yang diharamkan Allah. Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal darah, apabila dia baik, maka baiklah seluruh jasad dan apabila dia buruk maka buruklah seluruh jasad. Dia adalah hati.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Jadi dapat disimpulkan bahwa riba itu haram. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ahli ilmu mengenai hal ini. Perbedaan pendapat muncul saat para ahli ilmu menentukan apakah bunga bank komersial/bank konvensional yang telah menjadi sistem perekonomian dunia adalah sama dengan riba.
1.      Pendapat Yang Mengatakan Bunga Bank Bukan Riba.
Segelintir Ulama di negara-negara Timur Tengah dan beberapa orang pakar ekonomi di negara sekuler, berpendapat bahwa riba tidaklah sama dengan bunga bank. Seperti Mufti Mesir Dr. Sayid Thantawi, yang berfatwa tentang bolehnya sertifikat obligasi yang dikeluarkan Bank Nasional Mesir yang secara total masih menggunakan sistem bunga, dan ahli lain seperti Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir. Doktor Ibrahim dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap Perbankan mengatakan, “Perkataan yang benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan Islam tanpa ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan perekonomian tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba. Ia juga mengatakan, “Sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan amal-amal ribawi yang dilarang Al-Qur’an yang Mulia. Karena bunga bank adalah muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman riba.”
Di Indonesia, pendapat yang mengemuka adalah pendapat pakar ekonomi yang juga mantan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia, Syafruddin Prawiranegara. Dalam bukunya Benarkah Bunga Bank Riba (1993) yang diterbitkan penerbit Ramadhan, Syafruddin berkata, “Jika bunga, walaupun dalam bentuk yang masuk akal atau ringan, tidak dibolehkan bagi pedagang muslim, maka larangan ini akan menempatkannya pada suatu posisi yang sangat kaku, janggal, dan tidak menguntungkan apabila dihadapkan kepada lawannya dari Barat dan Timur Tengah. Hal ini akan memaksa dia untuk mengikuti cara-cara yang dibuat-buat dalam melakukan transaksi atau memberikan nama lainnya kepada bunga seperti ongkos administrasi, hanya untuk menghindari kata riba.”
Pada halaman 43 Syafruddin berkata “…riba adalah semua bentuk keuntungan yang berlebih-lebihan yang didapat lewat pekerjaan yang salah. Bunga yang bersifat komersial dan normal diizinkan dalam Islam.” Selanjutnya pada halaman 36, ia berkata, “Mengenai Al-Qur’an dan Sunnah, saya tidak mendapati satu ayat pun dari Al-Qur’an atau hadits Nabi Muhammad yang dapat menyalahkan tafsir saya tentang riba.”
Mohamad Hatta berpendapat, bunga bank untuk kepentingan produktif bukanlah riba, tetapi untuk kepentingan konsumtif riba. Mr. Kasman Singodimedjo berpendapat, sistem perbankan modern diperbolehkan karena tidak mengandung unsur eksploitasi yang dzalim, oleh karenanya tidak perlu didirikan bank tanpa bunga. A.Hasan Bangil, tokoh Persatuan Islam (PERSIS), secara tegas menyatakan bunga bank itu halal karena tidak ada unsur lipat gandanya. Prof.Dr.Nurcholish Madjid berpendapat bahwa riba di mengandung unsur eksploitasi satu pihak kepada pihak lain, sementara dalam perbankan (konvensional) tidaklah seperti itu. Dr.Alwi Shihab dalam wawancaranya dengan Metro TV sekitar tahun 2004 lalu, juga berpendapat bunga bank bukanlah riba.
2.      Pendapat Yang Mengatakan Bunga Bank Adalah Riba
Umer Chapra mengutip Ibnu Manzur dalam kitabnya Lisan al-Arab, mengatakan bahwa pengertian riba secara harfiah berarti peningkatan, pertambahan, perluasan, atau pertumbuhan. Tetapi tidak semua peningkatan atau pertumbuhan terlarang dalam Islam. Keuntungan juga menyebabkan peningkatan atas jumlah pokok, tetapi hal ini tidaklah dilarang. Maka apa yang sebenarnya diharamkan?
Pribadi yang sangat tepat untuk menjawab pertanyaan itu adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau melarang mengambil hadiah, jasa, atau pertolongan sekecil apapun sebagai syarat atas suatu pinjaman. Dalam hadits riwayat Imam Bukhari, Rasulullah bersabda, “Jika seseorang memberikan pinjaman kepada seseorang lainnya, dia tidak boleh menerima hadiah.” Dalam hadits riwayat Imam Baihaqi, Rasulullah bersabda, “Ketika seseorang memberikan pinjaman kepada orang lain dan peminjam memberikannya makanan atau tumpangan hewan, dia tidak boleh menerimanya kecuali keduanya terbiasa saling memberikan pertolongan.” Jawaban Rasulullah ini menyamakan riba dengan apa yang lazim dipahami sebagai bunga (bunga bank).
Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama’ sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama’ terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank.[17] Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman bunga bank, yaitu:
1.      Majma’al Fiqh al-Islamy, Negara-negara OKI yang diselenggarakan di Jeddah pada tanggal 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 Desember 1985;
2.      Majma’ Fiqh Rabithah al’Alam al-Islamy, Keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di Makkah, 12-19 Rajab 1406 H;
3.      Keputusan Dar It-Itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979;
4.      Keputusan Supreme Shariah Court, Pakistan, 22 Desember 1999;
5.      Majma’ul Buhuts al-Islamyyah, di Al-Azhar, Mesir, 1965.
Walaupun Indonesia termasuk Negara dengan penduduk mayoritas muslim yang terlambat mempromosikan gagasan perbankan Islam,[18] namun Majelis Ulama Indonesia (”MUI”) melalui Keputusan Fatwa Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga (Interest/Fa’idah) berpendapat:
1.      Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah, yaitu Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya;
2.      Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik di lakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Majelis Ulama Indonesia berpendapat demikian dengan berdasarkan pada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta Kesepakatan para Ulama. Berikut petikan Fatwa MUI tentang Bunga (Interest/Fa’idah):
“…MENGINGAT :
1.      Firman Allah SWT, antara lain :
1.      Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shaleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang-orang berhutang itu) dalam kesukaran, berilah tangguh mereka sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali’Imran [3]: 130).
2.      Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain :
3.      Dari Abdullah r.a., ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) dan memberikan riba.” Rawi berkata: saya bertanya:”(apakah Rasulullah melaknat juga) orang yang menuliskan dan dua orang yang menajdi saksinya?” Ia (Abdullah) menjawab : “Kami hanya menceritakan apa yang kami dengar.” (HR.Muslim).
4.      Dari Jabir r.a.,ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikan.” Ia berkata: “mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim).
5.      Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Akan datang kepada umat manusia suatu masa di mana mereka (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambilnya)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR.al-Nasa’i).
6.      Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah).
7.      Dari Abdullah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Riba mempunyai tujuh puluh tiga pintu (cara, macam).” (HR. Ibn Majah).
8.      Dari Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, dua orang yang menyaksikannya.” (HR. Ibn Majah).
9.      Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sungguh akan datang kepada umat manusia suatu masa di mana tak ada seorang pun di antara mereka kecuali (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambil)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR. Ibn Majah).
2.      Ijma’ Ulama tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar (kaba’ir) (lihat antara lain: al-Nawawi, al-Majmu’Syarch al-Muhadzdzab, [t.t.: Dar al-Fikr, juz 9, th 391].


pengertian marketing/pemasaran


Pengertian Marketing Atau Pemasaran

Marketing / Pemasaran didefinisikan oleh AMA sebagai "aktivitas, seperangkat institusi, dan proses untuk membuat, berkomunikasi, memberikan, dan bertukar penawaran yang memiliki nilai bagi pelanggan, klien, mitra, dan masyarakat pada umumnya."
Ini menggantikan definisi sebelumnya, yang masih muncul dalam kamus AMA: "fungsi organisasi dan seperangkat proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan, dan nilai pengiriman ke pelanggan dan untuk mengelola hubungan pelanggan dengan cara yang menguntungkan organisasi dan para pemangku kepentingan."  Ini menghasilkan strategi yang mendasari teknik penjualan, komunikasi bisnis, dan perkembangan bisnis . Ini adalah proses yang terintegrasi melalui mana perusahaan membangun hubungan pelanggan yang kuat dan menciptakan nilai bagi pelanggan mereka dan bagi dirinya sendiri.
Pemasaran adalah digunakan untuk mengidentifikasi pelanggan, memuaskan pelanggan, dan menjaga pelanggan. Dengan pelanggan sebagai fokus kegiatan, manajemen pemasaran adalah salah satu komponen utama dari manajemen bisnis. Pemasaran berevolusi untuk memenuhi stasis di pasar baru berkembang disebabkan oleh pasar yang matang dan overcapacities dalam 2-3 abad terakhir [kutipan diperlukan] Penerapan strategi pemasaran mengharuskan bisnis untuk mengalihkan fokus mereka dari produksi untuk kebutuhan yang dirasakan dan keinginan pelanggan mereka. sebagai sarana untuk tetap menguntungkan [kutipan diperlukan].
Konsep pemasaran jangka berpendapat bahwa mencapai tujuan organisasi tergantung pada mengetahui kebutuhan dan keinginan pasar sasaran dan memberikan kepuasan yang diinginkan. Hal ini mengusulkan bahwa dalam rangka untuk memenuhi tujuan organisasi, organisasi harus mengantisipasi kebutuhan dan keinginan konsumen dan memuaskan ini lebih efektif daripada pesaing.
Istilah ini dikembangkan dari makna aslinya yang mengacu secara harfiah untuk pergi ke pasar untuk membeli atau menjual barang atau jasa. Dilihat dari sudut pandang sistem, proses penjualan pemasaran rekayasa adalah "serangkaian proses yang saling berhubungan dan saling tergantung dengan fungsi lain,  yang metodenya dapat ditingkatkan dengan menggunakan berbagai pendekatan yang relatif baru."
The Chartered Institute of Marketing mendefinisikan pemasaran sebagai  "proses manajemen yang bertanggung jawab untuk mengidentifikasi, mengantisipasi dan memuaskan kebutuhan pelanggan menguntungkan." Sebuah konsep yang berbeda adalah pemasaran berbasis nilai yang menyatakan peran pemasaran untuk berkontribusi meningkatkan nilai pemegang saham.  Dalam konteks ini, pemasaran didefinisikan sebagai [7 "proses manajemen yang bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan bagi pemegang saham dengan mengembangkan hubungan dengan pelanggan dihargai dan menciptakan keunggulan kompetitif."]
Praktik pemasaran cenderung dilihat sebagai industri kreatif di masa lalu, termasuk periklanan, distribusi dan penjualan. Namun, karena studi akademis pemasaran ekstensif menggunakan ilmu-ilmu sosial, psikologi, sosiologi, matematika, ekonomi, antropologi dan ilmu saraf, profesi ini sekarang secara luas diakui sebagai ilmu, yang memungkinkan berbagai universitas menawarkan Master-of-Science (MSc) program. Proses keseluruhan dimulai dengan riset pemasaran dan berjalan melalui pasar, perencanaan segmentasi bisnis dan eksekusi, berakhir dengan kegiatan promosi pra-dan pasca-penjualan. Hal ini juga terkait dengan banyak seni kreatif. Literatur pemasaran juga mahir dalam re-inventing sendiri dan kosa kata yang sesuai dengan waktu dan budaya.
Browne (2010) mengungkapkan bahwa supermarket menghabiskan jutaan dolar intensif meneliti dan mempelajari perilaku konsumen. Tujuan mereka adalah untuk memastikan bahwa pembeli meninggalkan toko mereka menghabiskan lebih dari yang mereka awalnya direncanakan. 'Pilihan' meneliti teori trolleyology menemukan bahwa banyak pembeli secara naluriah melihat ke kanan ketika mereka di supermarket.
Supermarket memindahkan produk untuk membingungkan pembeli sekitar, entry point lain taktik pemasaran. Konsumen psikolog Dr Paul Harrison (dikutip dalam Browne, 2010) menyatakan bahwa supermarket selalu menggunakan metodologi yang berbeda dari penjualan. Salah satu metode adalah melakukan overhaul rutin mengubah lokasi dari seluruh produk untuk memecahkan kebiasaan belanja, dan istirahat anggaran Anda. Harrison juga berpendapat bahwa orang yang berbelanja di counter searah jarum jam cenderung menghabiskan uang lebih dari belanja orang searah jarum jam. Konsumen psikolog (dikutip dalam Browne, 2010) melaporkan bahwa kebanyakan orang menulis dengan tangan kanan mereka, sehingga merupakan sifat biologis yang orang memiliki kecenderungan membelok ke kanan saat berbelanja, dapat dipahami bahwa supermarket memanfaatkan fakta ini. Ditemukan di sisi kanan menangkap biasanya menarik produk yang pembelanja impulsif mungkin membeli misalnya payung saat cuaca membosankan.

Evolusi Pemasaran.
Orientasi, dalam konteks pemasaran, berkaitan dengan persepsi atau sikap tegas memegang terhadap produk atau layanan, pada dasarnya menyangkut konsumen dan pengguna akhir. Sepanjang sejarah, pemasaran telah berubah dalam hubungannya dengan selera konsumen.

Sumber :  Wikipedia 

pengertian muzara'ah


Muzara,ah
1. PENGERTIAN MUZARA’AH
Menurut bahasa, kata muzara’ah adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian hasilnya. Sedangkan menurut istilah fiqh ialah pemilik tanah memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya.
 2.    PENSYARI’ATAN MUZARA’AH
Dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar ra, bahwa ia pernah mengabarkan kepada Nafi’ ra pernah memperkejakan penduduk Khaibar dengan syarat bagi dua hasil kurmanya atau tanaman lainnya. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari VI: 13 no: 2329, Muslim XCIII: 1186 no: 1551, ‘Aunul Ma’bud IX: 272 no: 3391, Ibnu Majah II: 824 no: 2467, Tirmidzi II: 421 no: 1401).
Imam Bukhari menulis, Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia berkata, “Seluruh Ahli Bait yang hijrah ke Madinah adalah petani dengan cara bagi hasil sepertiga dan seperempat. Di antaranya lagi yang telah melaksanakan muzara’ah adalah Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, al-Qasim, Urwah, Keluarga Abu Bakar, Keluarga Umar, Keluarga Ali dan Ibnu Sirin.” (Fathul Bari V: 10).
3.    PENANGGUNG MODAL
Tidak mengapa modal mengelola tanah ditanggung oleh si pemilik tanah, atau oleh petani yang mengelolanya, atau ditanggung kedua belah pihak.
Dalam Fathul Bari V: 10, Imam Bukhari menuturkan, “Umar pernah mempekerjakan orang-orang untuk menggarap tanah dengan ketentuan; jika Umar yang memiliki benih, maka ia mendapat separuh dari hasilnya dan jika mereka yang menanggung benihnya maka mereka mendapatkan begitu juga.” Lebih lanjut Imam Bukhari mengatakan, “al-Hasan menegaskan, tidak mengapa jika tanah yang digarap adalah milik salah seorang di antara mereka, lalu mereka berdua menanggung bersama modal yang diperlukan, kemudian hasilnya dibagi dua. Ini juga menjadi pendapat az-Zuhri.”
4.    YANG TIDAK BOLEH DILAKUKAN DALAM MUZARA’AH
Dalam muzara’ah, tidak boleh mensyaratkan sebidang tanah tertentu ini untuk si pemilik tanah dan sebidang tanah lainnya untuk sang petani. Sebagaimana sang pemilik tanah tidak boleh mengatakan, “Bagianku sekian wasaq.”
Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, ia bercerita, “Telah mengabarkan kepadaku dua orang pamanku, bahwa mereka pernah menyewakan tanah pada masa Nabi saw dengan (sewa) hasil yang tumbuh di parit-parit, dengan sesuatu (sebidang tanah) yang dikecualikan oleh si pemilik tanah. Maka Nabi saw melarang hal itu.” Kemudian saya (Hanzhalah bin Qais) bertanya kepada Rafi’, “Bagaimana sewa dengan Dinar dan Dirham?” Maka jawab Rafi’, “Tidak mengapa sewa dengan Dinar dan Dirham.” Al-Laits berkata, “Yang dilarang dari hal tersebut adalah kalau orang-orang yang mempunyai pengetahuan perihal halal dan haram memperhatikan hal termaksud, niscaya mereka tidak membolehkannya karena di dalamnya terkandung bahaya.” (Shahih: irwa-ul Ghalil V: 299, Fathul Bari V: 25 no: 2347 dan 46, Nasa’i VII: 43 tanpa perkataan al-Laits).
Dari Hanzhalah juga, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij perihal menyewakan tanah dengan emas dan perak. Jawab Rafi’, ‘Tidak mengapa. Sesungguhnya pada periode Rasulullah orang-orang hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang (gailengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain. Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, oleh sebab itu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti dan dapat dijamin, maka tidak dilarang.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 302, Muslim III: 1183 no: 116 dan 1547, ‘Aunul Ma’bud IX: 250 no: 3376 dan Nasa’i VII : 43).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 677 - 679.