Konsep Syirkah Dalam Fiqh Mu'amalah
TINJAUAN UMUM TERHADAP KONSEP
SYIRKAH
DALAM FIQH MU’AMALAH
1.
Pengertian dan Dasar Hukum Syirkah
1.1.1. Pengertian Syirkah
Syirkah secara bahasa adalah masdar dari شاركyaituشارك – شـــارك – شركا - شركة yang
berarti penyatuan dua dimensi atau lebih menjadi satu kesatuan. Kata ini juga
berarti bagian yang bersyarikat. Syirkah identik dengan patnership (bahasa Inggris) atau “
perkongsian ” dalam bahasa Indonesia. Namun demikian istilah tersebut telah
menjadi populer di kalangan para musafir dan pedagang Arab jahiliyah; juga
masyarakat Melayu sebagai bentuk kerja sama dalam beberapa sektor yang didasari
suatu bentuk perjanjian. Jadi secara etimologi, syirkah mengandung arti
bercampur, bersekutu, berserikat; misalnya bercampur harta seseorang dengan
harta orang lain yang berlainan timbangannya. Perkataan kerja sama (cooporation)
dan perkongsian (partnership) banyak didapati dalam kalimat-kalimat
Al-Qur’an seperti :
....
Artinya : . . . . tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu. . . . . . ” (Q. S An-Nisa’ : 12).
Ayat ini menerangkan bahwa
bagian sepertiga (1 / 3) dari harta warisan menjadi syirkah (milik
bersama) di antara dua orang atau lebih saudara seibu.
Menurut terminologi, syirkah
ialah suatu transaksi yang menghendaki tetapnya hak pada sesuatu menjadi milik
dua orang atau lebih. Ada juga yang mendefinisikan sebagai percampuran saham
atau modal seseorang dengan orang lain sehingga tidak dapat dibedakan kedua
modal tersebut. Dalam harta syirkah tersebut adanya penetapan bagian
masing-masing pihak berdasarkan ketentuan yang telah disepakati bersama.
Sedangkan Abdurrahman I. Doi, seorang ulama kontemporer menjelaskan bahwa syirkah
(partnership) adalah hubungan kerja sama antara dua orang atau lebih
dalam bentuk bisnis (perniagaan) dan masing-masing pihak akan memperoleh pembagian keuntungan
berdasarkan penanaman modal dan kerja masing-masing peserta.
Syirkah tidak hanya berlangsung dalam satu bentuk dan
jenis pekerjaan semata. Jika diperhatikan perkembangan dunia usaha ini,
modal bukanlah suatu aspek yang berdiri sendiri, tetapi harus dibantu
beberapa aspek penunjang lainnya agar mendatangkan hasil yang maksimal, seperti
keahlian dan mekanisme kerja yang rapi. Pengembangan usaha melalui syirkah
merupakan bentuk kemitraan perekonomian global dewasa ini. Objektifnya adalah
saling mengisi dan menutupi kelemahan yang ada untuk meraih keuntungan dan
menekan resiko kerugian yang serendah-rendahnya secara bersama.
Berdasarkan definisi yang
telah disebutkan di atas, ulama fiqh membatasi pengertian syirkah kepada
syirkah al-milki dan syirkah al-‘uqud. Syirkah al-Milki
adalah suatu pernyataan tentang pemilikan dua orang atau lebih terhadap satu
barang tanpa ada perjanjian perserikatan atau persekutuan memiliki. Sedangkan syirkah
al-‘uqud adalah suatu pernyataan tentang perjanjian yang terselenggara
antara dua orang atau lebih untuk bersama-sama dalam satu harta dan
keuntungannya.
Selanjutnya dalam penulisan
skripsi ini, penulis memfokuskan kepada syirkah al-‘uqud yaitu suatu bentuk
syirkah yang terjadi karena adanya transaksi antara dua orang atau lebih karena
didasari pada perkongsian modal dan keuntungan di mana seseorang mengatakan
kepada partnernya “ saya berkongsi dengan kamu dalam masalah . . . . . .
dan anggota yang lain mengatakan : saya atau kami menerima kamu sebagai
partner kerja ” .
1.1.2. Dasar Hukum Syirkah
Akad asy-syirkah dibolehkan menurut para ulama fiqh. Islam juga menggalakkan kerja sama dalam berbagai bentuk
usaha kebajikan dan sebaliknya menolak usaha-usaha yang bisa mendatangkan
kemudharatan untuk diri sendiri dan orang banyak. Oleh karenanya operasional syirkah (partnership) dalam dunia perdagangan dibolehkan oleh syari’at
Islam. Hal ini di dasarkan pada dalil-dalil al-Qur’an, sunnah dan ijma’ ulama.
a. Dalil dari
ayat Al-Qur’an
Firman Allah SWT. dalam surat Al-Maidah ayat 2:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا
تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Artinya : “...Dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. ...”(Al-Maidah: 2).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa semua perbuatan dan sikap hidup membawa
kebaikan kepada seseorang (individu) atau kelompok masyarakat digolongkan
kepada perbuatan baik dan taqwa dengan syarat perbuatan tersebut didasari
dengan niat yang ikhlas. Tolong menolong (syirkah al-ta’awun) merupakan
satu bentuk perkongsian, dan harapan bahwa semua pribadi muslim adalah sosok yang bisa
berguna / menjadi partner bersama-sama dengan muslim lainnya.
Firman Allah SWT. dalam surat al-Anfal ayat 41 yaitu:
وَاعْلَمُوا
أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ
آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ
يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “ Ketahuilah,
sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka
sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan ibnusabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa
yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari
bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal : 41).
Kata ghanimah dalam ayat tersebut adalah rampasan perang yang diperoleh
kaum muslimin bersama-sama dan dijadikan harta syirkah dengan pembagian
yang adil menurut ketentuan syari’at Islam dengan memperhatikan jenis dan usaha
yang dikembangkan.
b. Dalil dari Sunnah
Pelaksanaan dalam Islam juga di dasari kepada
hadist Qudsi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah S. A. W telah
bersabda:
عن أبى هريرة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم قال الله
: نا أثالث الشريكين ما لم يخن أحدهما صاحبه (رواه أبوا داو)9[9]
Artinya : “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW
bersabda: Allah SWT berfirman: Aku adalah kongsi ketiga dari dua orang
yang berkongsi selama salah seorang kongsi tidak mengkhianati kongsinya
apabila ia mengkhianatinya, maka Aku keluar dari perkongsian itu. ( HR. Abu Daud
)
Sayid Sabiq menjelaskan kembali bahwa Allah SWT
akan memberi berkah ke atas harta perkumpulan dan memelihara keduanya (mitra
kerja) selama mereka menjaga hubungan baik dan tidak saling mengkhianati.
Apabila salah seorang berlaku curang niscaya Allah SWT akan mencabut berkah
dari hartanya.
Dalam hadits
lain Rasulullah SAW juga bersabda:
عن السا ئب
المخزومي رضي الله عنه انه كان شريك النبي صلى الله عليه وسلم قبل البعثة، فجاء
يوم الفتح فقال: مرحبا يا اخى وشر يكى . (رواه احمد وا أبوداود و ابن ماجة) [11]
Artinya: Dari
Saib al-Makhzumi r.a bahwasanya dia menjadi mitra Nabi SAW sebelum beliau
menjadi Rasul, lalu mendatanginya pada hari pembebasannya kota Makkah, beliau berkata, selamat datang
hai saudaraku dan mitraku (kongsi). (H. R Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah).
Berdasarkan hadist tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa perkongsian menurut hukum Islam bukan hanya sekedar boleh,
melainkan lebih dari itu, disukai selama dalam perkongsian itu tidak ada tipu
menipu.
c. Dalil-dalil
Ijma’
Ulama sepakat bahwa syirkah boleh hukumnya menurut
syari’at, sekalipun mereka berbeda pendapat tentang jenis-jenis syirkah dan
keabsahan masing-masing. Syirkah-pun saling berbeda menurut masing-masing
persepsi mereka. Ada yang kita lihat sejak masa Rasulullah SAW, orang-orang
mukmin selalu berserikat dalam perniagaan.
1.2. Rukun, Syarat, Dan Macam-macam Bentuk
Syirkah
2.2.1. Rukun Syirkah
Dalam melaksanakan suatu
perikatan Islam harus memenuhi rukun dan syarat yang sesuai dengan hukum Islam.
Rukun adalah “suatu unsur yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan
tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu.”
Adapun rukun dari akad
musyarakah yang harus dipenuhi dalam transaksi yaitu:
1. Pelaku akad,
yaitu para mitra usaha yang melakukan akad sebagai suatu perbuatan hukum yang
mengemban hak dan kewajiban. Bentuk pelaku akad tersebut adalah manusia dan
badan hukum.
2. Objek akad, yaitu
benda-benda atau jasa-jasa yang dihalalkan oleh syari’ah untuk ditransaksikan,
harus diketahui dengan jelas oleh para pihak, seperti fungsi, bentuk, dan
keadaannya. Objek aqad musyarakah ini terdiri dari modal, kerja,
keuntungan dan kerugian. Masing-masing objek aqad tersebut memilki peranan yang
besar terhadap ekspansi usaha dalam aqad musyarakah ini.
3. Shighah, yaitu
ijab dan qabul. Pelaksanaan ijab dan qabul yang dilakukan oleh para pihak dapat
dilakukan dengan berbagai cara yang dibenarkan. Cara-cara ijab qabul tersebut
berupa lisan, tulisan, isyarat, maupun dengan perbuatan.
Para fuqaha berbeda pendapat dalam mendefinisikan
rukun pada sesuatu bentuk tasarruf. Menurut jumhur ulama yang dimaksud dengan
rukun adalah sesuatu yang ditetapkan ke atasnya, jika salah satu dari rukun tersebut
tidak ada, maka ‘aqad syirkah tersebut tidak wujud atau digolongkan ke dalam
‘aqad fasid.
Menurut Ulama Hanafiyah, mereka mendefinisikan rukun sebagai sesuatu yang
ditetapkan atas sesuatu demi wujudnya sesuatu secara legal, maka sighah (ijab
qabul) di sini merupakan unsur pokok (rukun tunggal) dalam ‘aqad syirkah.
Sedangkan selain sighah seperti al ‘aqid adalah para pihak yang bersyirkah,
ma’qud ‘alaih merupakan objek yang diaqadkan dan ‘amal / usaha tidak
digolongkan ke dalam rukun syirkah, melainkan hanya sebagai syarat-syarat demi
wujudnya sighah.
Perbedaan pendapat antara jumhur dan Hanafiyah mengenai ‘aqad (rukun) syirkah
adalah perbedaan dalam teori, sedangkan dalam pelaksanaannya, kerangka-kerangka
dasar dari rukun yang dikemukakan oleh kedua golongan tersebut adalah sama.
Dalam aplikasinya, kedua rumusan di atas tidak memperlihatkan perbedaan dan
bahkan proses pelaksanaan rukun-rukun tersebut saling merangkumi.
1.2.2. Syarat-syarat Syirkah
Syarat adalah “sesuatu yang tergantung
padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada diluar hukum itu sendiri, yang
ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada.”
Adapun syarat-syarat akad musyarakah yaitu:
1. Ucapan, tidak ada
bentuk khusus dari kontrak musyarakah. Ia dapat berbentuk pengucapan yang
menunjukkan tujuan. Berakad dianggap sah jika diucapakan secara verbal atau
ditulis. Kontrak musyarakah dicatat dan disaksikan.
2. Pihak yang
berkontrak, disyaratkan bahwa mitra harus kompeten dalam memberikan atau
diberikan kekuasaan
perwakilan.
3. Objek Kontrak,
yaitu dana dan kerja. Di mana modal yang diberikan harus uang tunai, emas,
perak, atau yang bernilai sama. Para ulama menyepakati hal ini. Beberapa ulama
memberi kemungkinan pula bila modal berwujud aset perdagangan, seperti
barang-barang, perlengkapan, dan sebagainya. Bahkan dalam bentuk hak
yang tidak terlihat, seperti lisensi, hak paten, dan sebagainya. Bila itu
dilakukan, menurut kalangan ulama ini, seluruh modal tersebut harus dinilai
lebih dahulu secara tunai dan disepakati para mitranya. Kemudian, partisipasi para mitra dalam pekerjaan
musyarakah adalah ketentuan dasar. Tidak dibenarkan bila salah seorang di
antara mereka menyatakan tak akan ikut serta menangani pekerjaan dalam kerja
sama itu. Namun, tidak ada keharusan mereka untuk menanggung beban kerja secara
sama. Salah satu pihak boleh menangani pekerjaan lebih banyak dari yang lain,
dan berhak menuntut pembagian keuntungan lebih bagi dirinya.
Pada dasarnya, syarat secara garis besar telah menentukan bagi tiap-tiap aqad
transaksi batasan tertentu untuk merealisir hajad masing-masing pihak sehingga
tidak perlu menambah syarat tertentu di luar syarat syar’i, namun kadang-kadang
batasan yang ada tidak terpenuhi apa yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang
beraqad sehingga membutuhkan syarat tambahan.
Para ulama membagi syarat kepada dua :
1). Syarat Syar’i
Syarat syar’i adalah syarat itu sebagai sebab,
misalnya nikah merupakan syarat wajib rajam bagi pelaku zina. Dan adakalanya
syarat itu untuk sah hukum misalnya kesaksian dalam aqad nikah, itu merupakan
syarat untuk hukum agar pernikahan sah
2). Syarat Ja’li
Syarat ini merupakan suatu syarat yang timbul dari
perbuatan dan kehendak manusia yang menjadi suatu keharusan pada suatu aqad (transaksi)
yang berhubungan dengan syarat tersebut. Apabila syarat tidak dilengkapi,
maka aqad pun tidak sah. Atau dengan ungkapan lain meletakkan suatu perkara
yang tidak terdapat pada perkara yang ada dengan menggunakan ungkapan tertentu:
“ dengan syarat begini atau hendaklah keadaannya begini. ”
Berikut ini akan dikemukakan pendapat
golongan Hanabilah dan Hanafiyah tentang syarat-syarat yang menyertai ‘aqad
(golongan Syafi’iyah mendekati pendapat Hanafiyah, sedangkan golongan Malikiyah
mendekati pendapat Hanafiyah).
a. Golongan
Hanabilah, khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al-Qayyim, sangat longgar dalam
menggunakan kebebasan menentukan syarat-syarat ‘aqad. Pada dasarnya segala
syarat yang tidak dilarang syara’ adalah sah dan harus ditempati atau dipelihara.
Jadi tolak ukur keabsahan syarat adalah jika tidak bertentangan dengan
kitabullah, sunnah Rasul serta kaidah-kaidah syara’. Dengan kata lain penetapan
syarat-syarat itu pada dasarnya boleh dan sah sepanjang membawa manfaat bagi
pihak-pihak yang beraqad.
b. Hanafiyah (dan
Syafi’iyah) membagi syarat yang berbaringan dengan ‘aqad menjadi tiga
macam.
1). Syarat shahih, yaitu sesuai dengan tujuan
‘aqad atau menguatkan tujuan ‘aqad atau telah ada ketentuan syara’.
2). Syarat fasid, yaitu syarat yang mengandung
manfaat bagi salah satu pihak yang mengadakan seperti membeli gandum dengan
syarat penjualnya harus menumbuknya terlebih dahulu.
3). Syarat bathil, yaitu syarat yang tidak
termasuk kategori syarat shahih dan tidak pula termasuk syarat fasid, melainkan
syarat yang mendatangkan kemadharatan bagi salah satu pihak yang ber’aqad
seperti persyaratan penjual rumah agar rumah itu dikosongkan sebulan tiap-tiap
tahun.
1.2.3. Macam-macam Bentuk Syirkah
Bentuk syirkah dibagi dalam dua bentuk : syirkah
pemilikan dan syirkah aqad (kontrak). Syirkah pemilikan tercipta karena
warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset
oleh dua orang atau lebih. Dalam syirkah ini, kepemilikan dua orang atau lebih
berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang
dihasilkan aset tersebut.
Syirkah aqad tercipta dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau lebih
setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal syirkah. Mereka pun
sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.
Syirkah aqad terbagi menjadi : al-‘inan, al-mufawwadhah, al-‘amaal, al-wujuh
dan al-mudharabah. Para ulama berbeda pendapat tentang al-mudharabah, apakah ia
termasuk jenis al-musyarakah atau bukan. Beberapa ulama menganggap al-mudharabah
termasuk kategori al-musyarakah karena memenuhi rukun dan syarat sebuah aqad
(kontrak) musyarakah. Adapun ulama lain menganggap al-mudharabah tidak termasuk
sebagai al-musyarakah.
Berikut ini penjelasan daripada syirkah aqad
menurut ulama Hanabilah yang terdiri dari lima bentuk sesuai dengan yang telah
disebutkan di atas :
a. Syirkah
al-‘inan
Syirkah al-‘inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih.
Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi
dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang
disepakati di antara mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak, baik dalam
dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan
kesepakatan mereka. Mayoritas ulama membolehkan jenis al-musyarakah ini.
Lebih lanjut Syafi’i menjelaskan bahwa syirkah
al-inan merupakan perkongsian dagang yang dilakukan oleh persero yang
menyerahkan hartanya masing-masing sebagai kapital (modal) dan masing-masing
anggota berkelayakan untuk mengurus dan mengembangkan modal tersebut.
Keuntungan dan resiko yang akan berlaku ditanggung bersama.
b. Syirkah
mufawwadhah
Syirkah mufawadhah adalah kontrak kerja sama antara dua
orang atau lebih. Di mana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan
dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan
kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis al-musyarakah
ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggungjawab, dan beban utang
dibagi oleh masing-masing pihak
Pada syirkah mufawwadhah (perkongsian tak
terbatas) ada beberapa pendapat ulama di antaranya ada yang menyatakan boleh
dan ada pula yang melarang hal demikian. Golongan Syafi’iyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa syirkah ini tidak boleh dipraktekkan, sedangkan Hanafiyah,
Malikiyah dan Abu Tsur membolehkannya. Perbedaan persepsi imam mazhab mengenai
kebolehan syirkah ini adalah karena ketentuan jumlah modal dan percampuran
modal dari masing-masing pihak yang ber’aqad. Golongan pertama (membolehkan
syirkah mufawwadhah) memberi argumentasi bahwa dalam syirkah tidak harus adanya
penetapan jumlah modal, karena hal demikian merupakan pemaksaan terhadap para
anggota syirkah, sedangkan hal yang demikian tergolong bathil.
c. Syirkah
al-‘amaal
Syirkah ini adalah kontrak kerja sama dua orang
seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari
pekerjaan itu. Misalnya, kerja sama dua orang arsitek untuk menggarap sebuah
proyek, atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan
seragam sebuah kantor. Syirkah ini kadang-kadang di sebut musyarakah abdan
atau sanaa’i. Perkongsian jenis ini dibolehkan oleh ulama Malikiyah,
Hanabilah, dan Zaidiyah. Dengan alasan, antara lain bahwa tujuan dari
perkongsian ini adalah mendapatkan keuntungan. Selain itu, perkongsian tidak
hanya dapat terjadi pada harta, tetapi dapat juga pada pekerjaan, seperti dalam
mudharabah.
Namun demikian, ulama Malikiyah menganjurkan
syarat untuk kesahihan syirkah ini, yaitu harus ada kesatuan usaha. Mereka
melarangnya kalau jenis barang yang dikerjakan keduanya berbeda, kecuali masih
ada kaitannya satu sama lain, seperti usaha penenunan dan pemintalan. Selain
itu, keduanya harus berada di tempat yang sama. Jika berbeda tempat, syirkah
ini tidak sah.
Secara global, jumhur fuqaha dari mazhab Hanafi,
Hanbali dan Maliki berpendapat bolehnya syarikat A’mal, dengan dasar dalil
hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunnahnya dari Ibnu Mas’ud, ia
berkata : “ saya bersyarikat dengan ‘ Ammar dan Sa’ad pada perang badar. Lalu,
Sa’ad mendapatkan dua orang tawanan sedangkan saya dan ‘ Ammar tidak
mendapatkan sama sekali dan nabi saw tidak menegur ( menanggah ) terhadap kami.
”
Maksudnya adalah bahwa persyarikatan seperti ini
tidak tersembunyi dari nabi saw. dan beliau telah mengetahuinya dengan tidak
mengingkarinya, maka sikap beliau tersebut dikategorikan sebagai bentuk taqrir
(persetujuan), sebagaimana hadist ini menunjukkan adanya persyarikatan para
penemu ghanimah (rampasan perang) pada diri tawanan, sedangkan mereka tidak
berhak atas harta tersebut kecuali hanya dengan usaha tanpa yang lainnya.
d. Syirkah al-Wujuh
Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau
lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka
membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut
secara tunai. Mereka berbagi dalam dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan
jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra.
Syirkah jenis ini mengikat dua orang pelaku atau
lebih yang tidak memilki modal uang. Namun mereka memiliki nama baik di tengah
masyarakat sehingga membuka kesempatan buat mereka untuk bisa membeli secara
berhutang. Mereka bersepakat untuk membeli barang secara berhutang dengan
tujuan untuk dijual, lalu keuntungannya jual beli itu mereka bagi bersama.
Para ulama berbeda pendapat tentang
disyari’atkannya atau tidaknya kerja sama ini. Kalangan Hanafiyah dan
Hambaliyah membolehkannya secara mutlak. Kalangan Syafi’iyah dan Malikiyah
melarang sebagian bentuk aplikatifnya, namun membolehkan sebagian bentuk
lainnya.
Mereka membolehkan kalau kedua pihak tersebut
bersepakat membeli satu komoditi yang sama. Mereka melarang apabila
masing-masing berhak terhadap apa yang dibeli oleh mitra bisnis kerja sama
mereka dengan nama baiknya sendiri secara mutlak.
Alasan mereka yang membolehkannya secara mutlak
adalah sebagai berikut: karena syirkah itu mengandung unsur membeli dengan
pembayaran tertunda, serta untuk memberikan penjaminan kepada pihak lain untuk
berjual beli, dan keduanya dibolehkan. Karena umumnya manusia telah terbiasa
melakukan perjanjian kerja sama tersebut di berbagai tempat tanpa pernah
dibantah oleh ulama manapun.
e. Syirkah
al-Mudharabah
Syirkah al-mudharabah merupakan akad kerja sama usaha
antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh
(100 %) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan
usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian
itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan
karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung
jawab atas kerugian tersebut.
1.3. Kerangka Kerja Pengimplementasian
Syirkah
Pengimplementasian konsep
syirkah telah membolehkan semua bentuk bisnis untuk dilaksanakan oleh satu
orang individu, maka bisnis tersebut juga boleh (sah) jika dilakukan secara
bersama-sama atau dengan mengambil bagian di dalamnya. Bagian atau hasil dalam
perkongsian akan diketahui setelah masa ‘aqad atau setelah berakhirnya
sesuatu aktivitas usaha. Hasil tersebut tidak selamanya membawa keuntungan,
bahkan sering juga terjadi kerugian.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa keuntungan yang
akan diperoleh dalam suatu perkongsian harus ditetapkan berdasarkan kelayakan
masing-masing mitra usaha dengan kadar persentase yang disepakati bersama
ketika ‘aqad berlansung. Prinsip ini diterima oleh semua mazhab terutama
dalam ‘aqad mudharabah, sedangkan dalam ‘aqad syirkah terjadi
perbedaan pendapat. Hanafiyah dan Hanabilah setuju dengan konteks tersebut.
Sedangkan Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa pembagian keuntungan dalam
‘aqad syirkah ditetapkan oleh pihak yang berkongsi tanpa mengira perbedaan
dalam usaha perniagaan.
Pandangan Imam Syafi’iy
mempunyai alasan bahwa keuntungan dan kerugian akan ditetapkan menurut kadar
modal, karena keuntungan itu sendiri bermakna pertumbuhan modal sedangkan
kerugian bermakna pengurangan modal. Kedua-duanya akan terjadinya berdasarkan
besarnya modal yang disumbangkan. Jika modal setiap anggota sama besarnya,
tetapi pembagian keuntungan dan kerugian berbeda, maka syirkah tersebut
tidak sah.[29]
Alasan lain juga mengatakan bahwa ‘aqad syirkah
terkait erat dengan modal peserta dan bukan usaha perniagaan, sedangkan
peningkatan keuntungan yang diperoleh melalui usaha tidak terlepas dari pengawalan
modal.
Adapun pengimplementasian aqad syirkah yang terdapat pada Koperasi wanita
Bungong Jaroe yang penulis maksudkan di sini adalah lebih terarah kepada
syirkah ‘inan. Sebagaimana dapat kita lihat pada Koperasi wanita Bungong Jaroe
para pihak yang berserikat mencampurkan modal dalam jumlah yang tidak
sama, misalnya Rp X dicampur dengan Rp Y, maka jumlah keuntungan yang diterima
berdasarkan kesepakatan nisbah. Sedangkan bila rugi, maka masing-masing pihak
akan menanggung kerugian sebesar proporsi modal yang ditanamkan dalam syirkah
tersebut. Kemudian, dalam
syirkah al-‘inan juga sah
bagi setiap anggota syirkah membuat tuntutan terhadap keuntungan berdasarkan
jumlah modal masing-masing mereka, dan mereka juga boleh menetapkan pembagian
keuntungan sama rata sekalipun modal mereka berbeda, demikian pendapat Imam
Hanafi. Beliau lebih cenderung menetapkan keuntungan berdasarkan usaha
perniagaan dan apabila mitra kerja sama-sama aktif bukanlah hal yang mustahil
untuk menetapkan keuntungan yang sama.
Adapun
karakter-karakter dari syirkah ‘inan ini sebagai berikut:
a.
Besar modal anggota tidak harus sama.
b.
Setiap anggota mempunyai hak untuk aktif dalam
pengelolaan usaha dan juga dapat menggugurkan haknya
c.
Pembagian keuntungan dapat didasarkan atas persentase
modal masing-masing tetapi dapat juga atas dasar negosiasi. Hal ini
diperkenankan karena adanya kemungkinan tambahan kerja atau penanggung resiko
dari salah satu pihak
d.
Kerugian dan keuntungan sesuai dengan porsi modal. Jadi
syirkah ‘inan merupakan bentuk perkongsian yang paling banyak diterapkan dalam
dunia bisnis, hal ini karena sifatnya fleksibel.
Berdasarkan karakter-karakter tersebut, sebenarnya seperti apa modal,
kerja, keuntungan maupun kerugian dalam penerapan syirkah ‘inan. Sebagaimana
penulis ketahui, pada syirkah ‘inan ini jumlah porsi modal yang dicampurkan
oleh masing-masing pihak berbeda jumlahnya, maka jumlah keuntungan yang
diterima berdasarkan kesepakatan nisbah. Sedangkan bila rugi, maka
masing-masing pihak akan menanggung kerugian sebesar proporsi modal yang
ditanamkan dalam syirkah tersebut.
Musyarakah
dengan pemberian modal dalam syirkah ‘inan ini menciptakan sebuah kesatuan
dana. Lalu, setiap mitra memberi wewenang mitra lainnya untuk mengatur aset.
Seorang mitra dinilai berhak atas wewenang itu bila ia menggunakannya secara
baik dengan memelihara kepentingan mitra lainnya, tanpa membuat kesalahan yang
disengaja atau lalai. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau
menginvestasikan dana itu untuk kepentingannya sendiri.
Terdapat banyak kasus dalam
pengalaman praktis yang memperlihatkan bahwa dalam perjanjian perkongsian
sebahagian mitra bekerja keras sedangkan sebahagian yang lain tidak begitu
aktif. Tingkat produktifitas juga tidak selamanya dapat ditaksir
berdasarkan waktu yang digunakan atau kuantitas keterlibatan peserta terhadap
objek yang dikerjakan.
Ibnu Qudamah
al-Maqdisi memberi komentar bahwa resiko (kerugian) yang akan terjadi tidak
akan menjadi beban pihak yang menjalankan usaha dan akan ditanggung sendiri
oleh pemodal. Konteks ini memberi ketegangan bahwa pihak yang tidak memiliki
modal tidak berhak berkongsi kerugian, kecuali jika sama-sama mempunyai modal.
Namun,
berdasarkan beberapa pendapat tadi dapat dipahami bahwa visi dan pengalaman
mungkin lebih bernilai dibandingkan dengan kerja memeras tenaga. Prinsip
keadilan dan keseksamaan sangat diperlukan untuk memperoleh pembagian untung
resiko secara adil.
Apabila dalam
suatu bentuk perdagangan yang menggabungkan modal dan usaha, diketahui tidak
menghasilkan keuntungan ataupun tidak mengalami kerugian, maka perusahaan tidak
mendapat ganjaran dan pemilik modal juga tidak boleh menggugat pemulangan
modalnya. Prinsip ini tidak berlaku pada pelaksanaan bank, di mana pihak bank
tetap menuntut pemulangan modal beserta bunganya tanpa mempertimbangkan resiko
yang diderita oleh nasabah.
Mengenai
kerangka kerja hukum tentang berhentinya musyarakah pada prinsipnya akan
berhenti jika salah satu mitra menghentikan kontrak, atau meninggal, kompetensi
hukumnya berhenti, atau modal musyarakah hilang /rugi. Musyarakah juga harus
dimulai dengan perwakilan hubungan di antara para mitra. Hubungan ini memberi
dasar keberlangsungan kerja sama. Bila hubungan perwakilan itu dirusak,
misalnya dengan memberhentikan salah satu mitra, maka dasar hukum bagi mereka
bertindak sesuai modal masing-masing akan hilang. Ketika salah satu mitra
meninggal, salah satu ahli warisnya yang baligh dan berakal sehat dapat
menggantikan posisi mitra yang meninggal tersebut. Namun hal ini memerlukan
persetujuan ahli waris lain dan mitra musyarakah-nya. Hal demikian juga
berlaku jika salah satu mitra kehilangan kompetensi hukumnya.
1.4. Keuntungan-keuntungan Penerapan Konsep
Syirkah Dalam Pemberdayaan Ekonomi
Pemberdayaan ekonomi masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat
dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk
melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dalam konsep
pemberdayaan ekonomi manusia adalah subyek dari diri sendiri. Proses
pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat
agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Adapun
pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait,
yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh
kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan.
Pemberdayaan
yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemberdayaan ekonomi terhadap
anggota syirkah, sebagai bagian dari masyarakat yang membutuhkan penanganan
untuk mendorong peningkatan pendapatan atau profit usaha. Sehingga mampu
meningkatkan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik.
- Adapun keuntungan-keuntungan dari penerapan konsep syirkah terhadap pemberdayaan ekonomi adalah sebagai berikut:
1.
Perkongsian modal yang mulanya milik masing-masing
individu dalam jumlah kecil menjadi bertambah besar jumlahnya karena prinsip
bagi
2.
Adanya unit simpan pinjam melalui pengelolaan syirkah,
sehingga para anggota lebih mudah dalam mengakses modal usaha
3.
Pada aqad syirkah lebih adil kerena pembagian
keuntungan berdasarkan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung
berdasarkan jumlah modal masing-masing, jadi tidak ada pihak yang
dirugikan
4.
Dapat menikmati peningkatan bagi hasil, pada saat
keuntungan usaha anggota meningkat.
Kemudian, dalam menjalankan suatu
usaha untuk memberdayakan ekonomi anggota bukan saja keuntungan yang harus kita
perhatikan. Tetapi, resiko adalah hal yang paling utama yang harus kita
perhatikan demi lancarnya usaha yang akan kita lakukan. Adapun resiko-resiko
yang harus kita atasi seperti anggota syirkah menggunakan dana itu bukan
seperti yang disebut dalam kontrak, Kemudian lalai dan kesalahan yang
disengaja, juga penyembunyian keuntungan oleh anggota syirkah bila anggotanya
tidak jujur dan lainnya.
Namun, aplikasi yang dijalankan dalam perbankan untuk memberdayakan
nasabah, musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek di mana
nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut.
Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi
hasil yang telah disepakati untuk bank. Sedangkan resiko yang harus
diantisipasi antara lain kemungkinan kelalaian atau penghianatan nasabah.
Secara umum, bisa kita lihat aplikasi perbankan dari aqad
musyarakah yang bisa memberikan berbagai keuntungan di antara kedua
belah pihak yang berakad yaitu pihak nasabah dengan Bank Syari’ah. Adapun skemanya
dapat digambarkan sebagai berikut:
Sumber: Muhammad Syafi’i Antonio
Tidak ada komentar:
Posting Komentar