PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Di zaman Nabi SAW belum ada institusi bank, tetapi
ajaran Islam sudah memberikan prinsip prinsip dan filosofi dasar yang harus
dijadikan pedoman dalam aktifitas perdagangan dan perekonomian.Karena itu, dalam
menghadapi masalah muamalah kontemporer yang harus dilakukan hanyalah
mengidentifikasi prinsip-prinsip dan filosofi dasar ajaran Islam dalam bidang
ekonomi, dan kemudian mengidentifkasi semua hal yang dilarang. Setelah kedua
hal ini dilakukan,maka kita dapat melakukan inovasi dan kreativitas (ijtihad)
seluas-luasnya untuk memecahkan segala persoalan muamalah kontemporer, termasuk
persoalan perbankan.
Namun, sebelum “proses ijtihad”
dalam persoalan perbankan ini kita lakukan, kita sebaiknya meneliti terlebih
dahulu apakah persoalan perbankan ini benar-benar merupakan suatu persoalan
yang baru bagi umat Islam atau bukan. Apakah konsep “bank” merupakan konsep
yang asing dalam sejarah perekonomian umat Islam? Pertanyaan ini amat penting
untuk dijawab karena akan menentukan langkah kitaselanjutnya. Bila konsep bank
adalah konsep yang baru bagi umat Islam, maka kita harus memulai langkah
ijtihad kita dari nol. Namun, bila konsep bank bukan konsep yang baru, artinya
umat Islam sudah mengenal bahkan mempraktekkan fungsi-fungsi perbankan dalam
kehidupan perekonomiannya, maka proses ijtihad yang harus kita lakukan tentunya
akan menjadi lebihmudah. Bab ini akan memberikan jawaban atas pertanyaan di
atas, dengan menelusuri secara singkat praktek-praktek perbankan yang dilakukan
oleh umat muslim sepanjang sejarah.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Rumusan
masalah merupakan hal-hal apa saja yang akan dikaji oleh peneliti. Berdasarkan
latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1)
Bagaimana Lahirnya Bank Syariah
Dalam Sejarah Islam?
2)
Bagaimana Sejarah Lahirnya Bank
Syariah di Zaman Modern?
3)
Bagaimana Perkembangan Bank
Syariah Di Indonesia?
C.
TUJUAN
Tujuan dari
dilakukannya penulisan makalah ini selain sebagai tugas Akutansi Bank Syariah I,
pendidikan SI, Ekonomi Islam, jurusan Syariah juga sebagai berikut :
1)
Untuk Mengetahui Lahirnya Bank Syariah
Dalam Sejarah Islam.
2)
Untuk Mengetahui Sejarah Lahirnya Bank
Syariah di Zaman Modern.
3)
Untuk Mengetahui Perkembangan Bank
Syariah Di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Lahirnya
Bank Syariah Dalam Sejarah Islam
Islam didalam suatu kota besar yang
dianggap sebagai salah satu dari tempat yang heterogen dan yang paling rumit
diwilayah Arab. Masyarakat telah tumbuh diluar pembatasan suku bangsa dan kaum
untuk membangun kompleksitas dalam hal ekonomi dan politik. Selama itu kota
besar menjadi makmur dengan bisnis di dalam pinjaman dengan jumlah beban biaya
yang lebih besar.[1]
Pada awalnya pembentukan bank islam banyak diragukan karena beberapa alasan. Pertama, banyak orang yang beranggapan
bahwa sistem perbankan bebas bunga (interest free) adalah suatu yang tidak
mungkin dan tidak lazim. Kedua, keraguan
tentang bagaimana bank islam akan membiayai operasionalnya.[2]
Meskipun begitu terdapat bebrapa bukti yang menunjukkan bahwa pengembangan dari
sitem perbankan islam berjalan dan mulai ada dari zamanya nabi dan sahabat,
bani umayyahdan bani abasiah, dan di masa eropa.[3]
1.
Di
Zaman Nabi SAW dan Sahabat
Perbankan
adalah satu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima
simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Didalam
sejarah perekonomian kaum muslimin, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang
sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak jaman
Rasulullah SAW. Praktek-praktek seperti menerima titipan harta, meninjamkan
uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan
pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah. Dengan demikian,
fungsi-fungsi utama perbankan modern yaitu menerima deposit, menyalurkan dana,
dan melakukan transfer dan setelah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan umat Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah. Rasulullah SAW yang
dikenal dengan julukan al-Amin, dipercaya olehmasyarakat Mekah menerima
simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum Rasul hijrah ke Madinah,
beliau meminta Sayidina Alira untuk mengembalikan semua titipan itu kepada
yang memilikinya. Dalam konsep ini, yang dititipi tidak dapat memanfaatkan
harta titipan tersebut. Seorang sahabat Rasulullah, Zubairbin al Awwam, memilih
tidak menerima titipan harta. Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk
pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda; pertama,
dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, beliau mempunyai hak untuk memanfaatkannya;
kedua, karena bentuknya pinjaman, maka ia berkewajiban mengambalikannya utuh.
Sahabat lain, Ibnu Abbas tercatat melakukan pengiriman uang ke Kufah.
Jugatercatat Abdullahbin Zubair di Mekah juga melakukan pengiriman uang
keadiknya Misab bin Zubair yang tinggal di Irak. Penggunaan cek juga telah
dikenal luas sejalan dengan meningkatny aperdagangan antara negeri Syam dengan
Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali setahun. Bahkan di jaman Umarbin
Khattab ra, beliau menggunakan cek untuk membayar tunjangan kepada
merekayang berhak. Dengan cek ini kemudian mereka mengambil gandum di Baitul
Mal yang ketika itu diimpor dari Mesir. Pemberian modal untuk modal kerja
berbasis bagi hasil, seperti mudharabah, musyarakah, muzara’ah,
Musaqah,
telah dikenal sejak awal diantara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Jelaslah
bahwa ada individu-individu yang telah melaksanakan fungsi perbankan di zaman
Rasulullah SAW, meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh
fungsi perbankan. Ada sahabat yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta,
ada sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam-meminjamuang, ada yang melaksanakan
fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal kerja.Fungsi-fungsi
Bank sudah dipraktekkan oleh para sahabat dizaman Nabi SAW: Menerima Simpanan
Uang, Memberikan Pembiayaan, dan Jasa Transfer Uang. Biasanya satu orang hanya
melakukan satu fungsi saja.
Beberapa
istilah perbankan modern bahkan berasal dari khazanahilmufiqih, seperti istilah
kredit yang diambil dari istilah qard. Credit dalam bahasa Inggris berarti
meminjamkan uang, credo dalam bahasa romawi berarti kepercayaan, sedangkan qard
dalam fiqih berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu pula
istilah cek (Inggris:check; Perancis: cheque) yang diambil dari istilah saq (suquq).
Suquq dalam bahasa Arab berarti pasar, sedangkan cek adalah alat bayar yang
biasadigunakan di pasar.
2.
Di
Zaman Bani Umayyahdan Bani Abasiah
Jelas
saja institusi bank tidak dikenal dalam kosa kata fikih Islam, karena memang
institusi ini tidak dikenal oleh masyarakat Islam di masa Rasulullah, Khulafaur
Rasyidin, Bani Umayyah, maupun Bani Abbasiyah. Namun fungsi-fungsi perbankan
yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dantransfer dana telah lazim
dilakukan, tentunya dengan akad yang sesuai syariah. Di jaman Rasulullah saw
fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh perorangan, dan biasanya satu orang hanya
melakukan satu fungsi saja. Baru kemudian, di jaman Bani Abbasiyah, ketiga
fungsi perbankan dilakukan oleh satu individu. Fungsi-fungsi perbankan yang dilakukan
oleh satu individu, dalam sejarah Islam telah dikenal sejak zaman Abbasiyah. Perbankan
mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada zaman itu
sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan antara satu mata uang dengan
mata uang lainnya. Ini diperlukan karena setiap mata uang mempunyai kandungan
logam mulia yang berlainan sehingga mempunyai nilai yang berbeda pula. Orang
yang mempunyai keahlian khusus ini disebut naqid, sarraf, dan jihbiz. Hal ini
merupakan cikal-bakal praktek penukaran mata uang (money changer). Istilah
jihbiz mulai dikenal sejak zaman Muawiyah (661-680M) yang sebenarnya dipinjam
dari bahasa Persia, kahbad atau kihbud. Pada masa pemerintahan Sasanid, istilah
ini dipergunakan untuk orang yang ditugaskan mengumpulkan pajak tanah.
Peranan
banker pada zaman Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Muqtadir
(908-932M). Saat itu, hampir setiap wazir mempunyai bankir sendiri. Misalnya,
Ibnu Furat menunjuk Harun ibnu Imran dan Joseph ibnu wahab sebagai bankirnya.
Lalu Ibnu Abi Isa menunjuk Ali ibn Isa, Hamid ibnuWahab menunjuk Ibrahim ibn
Yuhana, bahkan Abdullah al-Baridi mempunyai tiga orang banker sekaligus: dua
Yahudi dan satu Kristen. Kemajuan praktek perbankan pada zaman itu ditandai
dengan beredarnya saq (cek) dengan luas sebagai media pembayaran. Bahkan, peranan
bankir telah meliputi tiga aspek, yakni menerima deposit, menyalurkannya, dan
mentransfer uang. Dalam hal yang terakhir ini, uang dapat ditransfer dari satu
negeri ke negeri lainnya tanpa perlu memindahkan fisik uang tersebut. Para
money changer yang telah mendirikan kantor-kantor di banyak negeri telah
memulai penggunaan cek sebagai media transfer uang dan kegiatan pembayaran
lainnya. Dalam sejarah perbankan Islam, adalah Sayf al-Dawlah al-Hamdani yang tercatat
sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara
Baghdad (Irak) dan Aleppo (Spanyol sekarang).
3.
Di
Masa Eropa
Dalam
perkembangan selanjutnya, kegiatan yang dilakukan oleh perorangan jihbiz
kemudian dilakukan oleh institusi yang saat ini dikenal sebagai institusi bank.
Ketika bangsa Eropa mulai menjalankan praktek perbankan, persoalan mulai timbul
karena transaksi yang dilakukan menggunakan instrumen bunga yang dalam
pandangan fikih adalah riba, dan oleh karenanya haram. Transaksi berbasis bunga
ini semakin merebak ketika Raja Henry VIII pada tahun 1545, membolehkan bunga
(interest) meskipun tetap mengharamkan riba (usury) dengan syarat bunganya tidak
boleh berlipat ganda (excessive). Ketika Raja Henry VIII wafat, ia digantikan
oleh Raja Edward VI yang membatalkan kebolehan bunga uang. Ini tidak
berlangsunglama. Ketika wafat, ia digantikan oleh Ratu Elizabeth I yang kembali
membolehkan bunga uang.
Selanjutnya,
bangsa Eropa mulai bangkit dari keterbelakangannya dan mengalami renaissance. Penjelajahan
dan penjajahan mulai dilakukan ke seluruh penjuru dunia, sehingga kegiatan
perekonomian dunia mulai didominasi oleh bangsa-bangsa Eropa. Pada saat yang sama,
peradaban muslim mengalami kemerosotan dan negara-negara muslim satu per satu
jatuh ke dalam cengkeraman penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Akibatnya,
institusi-institusi perekonomian umat muslim runtuh dan digantikan oleh
institusi ekonomi bangsa Eropa. Keadaan ini berlangsung terus sampai zaman
modern kini. Karena itu, institusi perbankan yang ada sekarang di mayoritas
negara-negara muslim merupakan warisandari bangsa Eropa, yang notabene berbasis
bunga.[4]
B.
Sejarah
Lahirnya Bank Syariah Di Zaman Modern
Pemikiran
untuk mendirikan bank yang menggunakan prinsip bagi hasil sudah muncul dalam
waktu yang cukup lama. Hal ini ditandai dengan munculnya pemukiran muslim yang
menulis tentang perlunya dibangun bank islam dengan prinsip bagi hasil, antara
lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) Dan Mahmud Ahmad (1952).
Kemudian pada 1960-an Al-Maududi menulis secara perinci tentang perlunya
dibangun bank islam untuk mengimbangi praktik-praktik bank konvensional yang
tidak sesuai dengan prinsip-prinsip islam. Pemikiran beliau ini ditindak
lanjuti oleh Muhammad Hamidullah dengan menulis beberapa buku berturut-turut
pada 1994, 1995, 1957, dan 1962 yang kesemuanya itu dikategorikan sebagai
penggagas awal tentang perbangkan islam.
Upaya
awal penerapan sistem profil dan less
sharing dalam bentuk bank syariah modern mencatat dipakistan Malaysia
sekitar tahun 1940, yaitu adanya upaya pengelolaan dana jamaah haji secara non
konvensional. Rintisan bank syariah lainya adalah berdirinya Mit Ghamr Local
Saving Bank pada 1963 di Mesir yang dibangun oleh Dr. Ahmad El-Najar.
Permodalan bank ini dibantu oleh Raja Faisal dari Arab Saudi. Bank ini
beroperasi tanpa bunga dan sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran agama islam
ini sangat populer dan pada mulanya tumbuh dengan baik. Oleh karena itu ada
persoalan politik dimesir bank ini ditutup dan diambil alih oleh National Bank
Of Egypt Dan Central Bank Of Egypt yang dioperasikan berdasarkan prinsip
ribawi. Pada 1972 sistem bank tanpa riba diperkenalkan lagi di Mesir dengan
ditandai berdirinya Nasser Social Bank. Berdirinya bank ini lebih bersifat
sosial daripada komersial.
Kesukaan
Mit Ghamr mengelola bank dengan sistem bagi hasil, memberi inspirasi bagi umat
islam diseluruh dunia untuk membentuk bank islam dengan sistem bagi hasil.
Secara kolektif gagasan berdirinya bank syariah ditingkat internasional muncul
dalam konferensi negara islam sedunia di Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 21
s.d 27 april 1969 yang diikuti oleh 19 negara peserta. Salah satu keputusan
dalam konferensi ini adalah perlu segera dibentuk sebuah bank syariah yang
bersih dari sistem riba. Kemudian pada desember 1970 dalam pertemuan menteri
luar negeri negara organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi, Pakistan,
delegasi mesir mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan bank syariah.
Proposal tentang berdirinya bank islam ini kemuian dikaji dengan seksama oleh
para ahli dari delapan belas negara islam yang semuanya menyetujui dibentuk
bank islam.
Selanjutnya
pada sidang luar negeri negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Baghazi,
Libia pada maret 1973 usulan tentang perlunya didirikan bank syariah
diagendakan lagi. Sidang kemudian memutuskan agar OKI mempunyai bidang khusus
yang menangani tentang hal-hal yang berhubungan dengan ekonomi dan keuangan.
Bulan juli 1973 komite ahli yang mewakili negara islam penghasil minyak bertemu
di Jeddah, Arab Saudi untuk membicarakan berdirinya bank syariah, sekaligus
dibahas tentang anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Selanjutnya pada 1974
diadakan pertemuan menteri keuangan negara OKI di Jeddah dan dalam pertemuan
ini disetujui rancangan pendirian bank pembangunan islam (Islamic Development
Bank) dengan modal awal dua milyar dinar.
Setelah
Islamic Development Bank (IDB) didirikan pada oktober 1975 yang beranggota 22
negara islam sebagai pendiri. Tujuan dibentuk bank ini adalah untuk membantu
finansial dalam membangun negara anggotanya, usaha untuk mendirikan bank islam
menyebar ke banyak negara. Beberapa negara islam seperti Pakistan, Sudan, dan
Iran mengubah seluruh sistem keuangan yang ada di negara tersebut menjadi bebas
bunga, sehingga semua lembaga keuangan di negara tersebut beroperasi
berdampingan dengan bank-bank konvensional.
Sekarang,
perbangkan syariah sudah mengalami perkembangan yang cukup pesat dan menyebar
keseluruh dunia. Di Eropa tercatat The Islamic Bank Internasional Of Denmark
tercatat sebagai bank syariah pertama yang beroperasi berdasarkan prinsip
syariah, bank ini mulai beroperasi pada 1983 di Denmark. Sekarang bank-bank
besar di negara-negara Eropa seperti City Bank, ANZ Bank, Chase Mahatam Bank,
dan Jardine Fleming telah pula membuka Islamic Window agar dapat memberikan
jasa-jasa perbangkan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat islam.[5]
C.
Perkembangan
Bank Syariah Di Indonesia
Ide
untuk mendirikan Bank yang menggunakan prinsip bagi hasil sudah muncul sejak
1970-an. Gagasan ini dibicarakan pada seminar nasional hubungan Indonesia dengan
Timur Tengah pada 1974 dan dalam seminar internasional yang dilaksanakan oleh Lembaga
Study Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhinika Tunggal Ika pada
1976. Setelah diadakan penelitian yang mendalam, usaha untuk mendirikan bank
syariah sedikit ada kendala, yaitu tidak ada payung hukum yang mengatur tentang
bank yang operasionalnya yang memakai prinsip bagi hasil. Kalau tetap
dioperasikan bank syariah itu, maka tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1967 tentang pokok-pokok perbangkan yang berlaku pada waktu itu. Selain
hambatan ini lahirnya bank syariah ini dianggap sementara oleh pihak ada
keterkaitan dengan faktor idiologi yang dianggapnya bagian dari konsep negara
islam.
Pada
1998 gagasan mengenai bank syariah muncul lagi dengan gagasan ini muncul karena
pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang berisi
liberalisasidi Indonesia. Setelah adanya rekomendasi lokakarya ulama tentang
bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor pada tanggal 19-22 Agustus 1990, hasil lokakarya tersebut dibahas lebih
mendalam pada Musyawarah Nasional IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
berlansung di Hotel Sahid Jaya, Jakarta pada 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan
amanat Munas MUI ini ddibentulah kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah
di Indonesia. Hasil kerja dari kelompok ini adalah dibentuknya PT. Bank
Muamalah Indonesia dengan ditanda tangani akta pendiriannya pada 1 November 1991
dengan total modal awal sebesar Rp. 106.126.382.000,-. Dana ini berasal dari
presiden dan wakil presiden, juga dari 10 Menteri Kabinet Pembangunan V,
Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab, Yayasan Supersemar, Yayasan
Dharmais, Yayasan Purna Bhakti Pratiwi, PT PAL, dan PT Pindad. Pada 1 Mei 1992 Bank
Muamalat Indonesia mulai beroperasi.
Pada
awal berdirinya, keberadaan PT Bank Muamalat Indonesian belum mendapatkan
perhatian yang optimal dalam tataan industri perbankan nasional. Lahirnya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, dimana perbankan bagi hasil
diakomodasikan dan diakui keberadaannya, maka perkembangan bank syariah mulai
menunjukkan prospeknya yang sangat bagus. Dalam menanggapi beberapa pasal yang
tersebut dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil
pada 30 Oktober 1992, LNRI Nomor 119 Tahun 1992. Dalam peraturan pemerintah ini
ditegaskan bahwa bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya
semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan
kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prrinsip bagi hasil, demikian juga
sebaliknya.
Oleh
karena Bank Muamalat dan bank-bank perkreditan rakyat tidak menjangkau
masyarakat islam lapisan bawah, maka dibentuklah lembaga-lembaga simpan pinjam
yang disebut Baitul Maal Wattamwil (BMT). Kemudian bank muamalat juga mensponsori
berdirinya Syarikat Takaful Indonesia dan menjadi salah satu pemegang sahamnya.
Selanjutnya pada 1997, Bank Muamalat mensponsori lokakarya ulama tentang
reksadana syariah oleh PT Danareksa Investment Management. Kemudian juga
lahirnya pasar modal syariah, obligasi syariah membuat perkembangan lembaga
keuangan syariah tumbuh dan berkembang cepat dengan hasil yang sangat
mengenbirakan. Menurut riset yang dilakukan oleh Karim Business Consulting pada
2005 yang lalu menunjukkan bahwa total aset bank syariah di indonesia
diperkirakan akan lebih besar daripada apa yang diperkirakan oleh bank
indonesia. Total aset bank syariah diperkirakan akan mencapai antara 1,92%
sampai 2,31% dari industri perbankan nasional. Pertumbuhan yang cukup
signifikan ini disebabkan karena semakin baiknya kapasitas disisi regulasi
serta perkembanganya pemikiran masyarakat tentang keberadaan bank syariah.
Lahirnya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang perbankan dalam bentuk surat keputusan direksi bank indonesia dan
peraturan bank indonesia, telah memberikan landasan hukum yang kuat bagi
pengembangan perbankan syariah di indonesia. Peraturan yang dikeluarkan oleh
bank indonesia ini telah memberikan kesempatan untuk mengembangkan bank syariah
dengan cara mempermudah memberi izin usaha dan mempermudah pembukuan kantor
cabang serta diperkenankan bank umum bdapat menjalankan dua kegiatan usaha,
baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah.
Lahirnya
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang perbankan telah memberikan peluang yang lebih besar bagi
pengembangan perbankan syariah. Dari peraturan perundang-undangan ini dapat
diketahui bahwa tujuan dikembangkan bank syariah adalah untuk memenuhi
kebutuhanjasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga.
Dengan dual banking system, mobilitas
dana masyarakat dapat diserap secara luas, terutama daerah-daerah yang tidak
bisa dijangkau oleh bank konvensional. Disamping itu, dengan dibukanya izin
operasional bank syariah, maka membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan
usaha berdasarkan prinsip kemitraan, bukan hubungan formal antara debitur dan
kreditur sebagaimana yang terdapat pada bank konvensional.
Selain
tujuan dibentuknya bank syariah sebagaimana tersebut diatas, juga diharapkan
melalui bank syariah dapat meningkatnya partisipasi masyarakat dalam proses
pembangunan industri perbankan, terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini
disebabkan karena masih banyak masyarakat yang masih enggan berhubungan dengan
bank, sebab bank dianggap mempraktikan riba dalam transaksi yang dilakukannya,
padahal riba itu haram hukumnya dalam syariat islam. Diharapkan, dengan
lahirnya bank syariah ini, masyarakat islam yang tadinya enggan berhubungan
dengan bank, akan merasa terpanggil untuk berhubungan dengan bank syariah,
ikhtiar ini akan sekaligus mendidik dan membimbing masyarakat untuk berpikir
secara ekonomis, berperilaku bisnis dalam meningkatkan kualtas hidupnya.[6]
BAB III
PENUTUP
Setelah kita menelusuri
secara singkat sejarah praktek perbankan yang dilakukan oleh umat muslim, maka
kita dapat mengambil kesimpulan bahwa meskipun kosa kata fikih Islam tidak mengenal kata “Bank”,
namun sesungguhnya
bukti-bukti sejarah menyatakan bahwa fungsi-fungsi perbankan modern telah
dipraktekkan oleh umat muslim, bahkan sejak zaman nabi Muhammad saw.
Praktek-praktek fungsi
perbankan ini tentunya berkembangsecara berangsur-angsur dan mengalami kemajuan
dan kemunduran di masa-masa tertentu, seiring dengan naik-turunnya peradaban
umat muslim. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep bank bukanlah suatu
konsep yang asing bagi umat muslim, sehingga proses ijtihad untuk merumuskan
konsep bank modern yang sesuai dengan syariah tidak perlu dimulai dari nol.
Jadi, upaya ijtihad yang dilakukan insya Allah akan menjadi lebih mudah.
DAFTAR PUSTAKA
v Rivai
Veithzal & Arifin Arvian, Islamic
Banking, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
v Manan
Abdul, Hukum Ekonomi Syriah, Kharisma
Putra Utama, Jakarta, 2012.
v Yasin
Nur, Hukum Ekonomi Islm, UIN Malang
Press, Malang, 2009.
v http://www.scribd.com/doc/33989425/Makalah-Sejarah-Perbankan-Syariah.
[1] Veithzal Rivai & Arvian
Arifin, Islamic Banking, PT. Bumi
Aksara, Jakarta, 2010 hal 132.
[2] Nur Yasin, Hukum Ekonomi Islm, UIN Malang Press, Malang, 2009, hal 131.
[3] Veithzal Rivai & Arvian
Arifin,Op.Cit, hal 132.
[4]
Http://www.scribd.com/doc/33989425/Makalah-Sejarah-Perbankan-Syariah.
[5] Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syriah, Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2012, hal 204.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar